Cerpen Remaja

Buah Jatuh Tak Jauh Dari Pohonnya
Oleh:
RESI SUSANTI
Ini bukan pertama kalinya aku melihat Dara duduk sendirian di kelas, dimana semua anak telah keluar kelas membeli pengganjal perut. Pemandangan seperti ini memang ta asing lagi bagi setiap anak yang sekolah di pertigaan pusat kota tersebut. Pasalnya Dara memang punya kebiasaan menyendiri. Menurutku ini bukanlah kebiasaan, tapi lebih cocok dikatakan minder.
Dari segi fisik, Dara tidak jauh beda dari anak-anak yang lain. Dara berparas manis dengan kelengkapan anggota tubuhnya. Hanya saja sebuah problematika membuatnya harus jauh dari kedamaian hidup bersama khalayak ramai.
Semua orang mengusik kehidupan masa lalu keluarganya. Sehingga keadaan itulah yang membuatnya dijauhi orang banyak. Sungguh tak adil memang, kesalahan itu bukan perbuatannya. Namun tak ada yang mengerti akan hal itu. Sehingga berimbas pada kehidupannya.
Penyendirian kali ini berbeda dari sebelumnya. Ada sebuah ketakutan di raut wajahnya. Ketakutan yang tak ingin ia ungkapkan. Apa yang terjadi dengannya.
Prak... prak... prak...
Tiba-tiba seisi tas berserakan di lantai sebuah kelas, tepatnya di kelas yang aku tempati dan Dara.
“Ukh... mana sih? Disini gak ada, disini juga gak. Padahal aku tarok disini tadi.”
“Assalamu’alaikum anak-anak.”
“Wa’alaikumussalam Buk.”
“Sha, kenapa kamu gak jawab salam Ibu, Nak? Ini ada apa buku diberantakin kaya gini?”
“Itu Bu, duit Shasa hilang.”
“Hilang? Mungkin kamu lupa meletakkannya, atau mungkin ketinggalan di rumah barangkali. Coba dicari yang benar. Jika tidak juga ketemu, nanti dilihat lagi di rumah!”
“Gak Bu, tadi sebelum keluar kelas Sha letakan disini. Jadi tak mungkin ketinggalan di rumah Bu.”
“Jumlahnya berapa Nak?”
“Dua ratus ribu Bu.”
“Astaghfirullah Nak. Kenapa bawa uang sebanyak itu? Lain kali ke sekolah jangan bawa uang yang banyak lagi ya Sayang. Kamu baru kelas tiga SD, jadi dilarang bawa uang banyak-banyak. Nah kalo gini kejadiannya, siapa yang dirugikan? Kita juga kan? Sudah sekarang kita coba cari solusinya ya!”
“Bu, secara ya di zaman yang sudah canggih dan serba modern gni, apa-apa mahal dan Ibu tentunya tahu dong banyak orang berbuat kriminal untuk memenuhi kebutuhan dan kebahagiaannya.”
“Maksudmu apa Eki?”
“Ah, masa Ibu gak tau. Jika bapaknya seorang maling, anaknya juga ikutan maling Bu.”
“Hush... Eki kamu gak boleh begitu. Gak baik menuduh orang sembarangan,” Ibu menegur Eki yang secara tidak langsung menuduh Dara karena semua orang tau bahwa bapaknya Dara seorang maling di sekitar tempat tinggalnya.
“Akh, Ibu... Kan Ibu sendiri yang mengajarkan ‘Buah jatuh tak jauh dari pohonnya’ sifat orang tua akan turun pada anaknya.”
“Iya, pepatah itu benar, tapi perlu anak-anak ketahui segala kebiasaan buruk itu dapat dirubah. Nah, sekarang daripada kita menuduh tanpa bukti, sebaiknya anak Ibu mengaku saja! Apa ada yang menemukan uangnya Shasa?”
“Bukan nemuin Bu, tapi mencuri.”
“Eki...!”
“Mmmaaf Bu.”
Dengan raut kekesalan Dara keluar kelas dan membanting pintu karena tak tahan disindir terus. Aku tahu pasti hatinya sangat terluka. Karena yang dimaksud Eki adalah dirinya. Walaupun aku melihat Dara seorang diri tadi di kelas, belum tentu Dara lah pelakunya. Dan aku yakin ini bukan perbuatannya.
Raibnya uang Shasa tak dapat dilacak. Tak seorangpun yang mengaku dan menjadi saksi. Hari itu berlalu begitu saja. Sejak hari itu Dara semakin berdiam diri dan dijauhi oleh orang lain. Kebiasaan menyendiri di kelaspun sudah jadi kebiasaan yang tak bisa dihilangkannya.
“Hai Dara, aku boleh duduk disini?” aku berusaha menegurnya. Jentungku berdegup kencang. Aku sangat takut mendekatinya karena setiap orang yang mendekatinya selalu jadi jipratan emosinya dan aku salah satu dari mereka.
Walaupun setiap ku dekati, dia selalu seperti itu aku takkan menyerah. Aku yakin suatu saat dia akan menerima aku sebagai temannya. Seorang teman yang mau jadi pendengar yang baik baginya, yang mau membantunya disaat dia butuhkan.
“Duduk saja!” aku kaget dan merasa aneh. Mungkin hari ini dia bisa menerimaku sebagai teman yang mau mendengarkan dia bercerita. Degup jantungku berhenti sesaat.
“Kamu mendekati saya, apa mau menuduh saya juga?”
“Bu... Bukan...”
“So....”
“Aku tahu kamu bukan pelakunya. Dan aku yakin kamu anak yang baik. Buktinya kamu izinkan aku duduk disini, disampingmu.”
“Apa hakku melarang kamu. Ini kan tempat umum. Sudah deh jangan sok menhibur dan sok yakin begitu. Aku gak butuh.”
“Hmmm,,, jangan salah paham gitu?”
Pembicaraan berlalu sampai disitu saja. Walaupun mengecewakan tapi paling tidak ada kemajuan. Dara membiarkan aku mendekatinya.
Gelar Dara sebagai anak maling pengikut kebiasaan bapaknya memang tak pernah pudar. Bagaimana gelar tersebut akan pudar jika Dara tak berusaha membuktikan kepada orang lain bahwa dia anak baik-baik. Tak seperti anggapan orang kebanyakan dan tak seperti pekerjaan dan kebiasaan bapaknya masa lampau.
Sebagai manusia, Makhluk Tuhan Yang Maha Esa seharusnya kita tak boleh pasrah dengan hidup dan takdir. Tapi kita harus merubahnya menjadi yang lebih baik dan menghilangkan segala gagasan buruk yang diciptakan orang lain.
Raibnya alat-alat belajar para siswa kelas tiga tepatnya kelasku dan kelas Dara semakin sering terjadi. Penyelidikan tak menghasilkan apa-apa. Pelakunya pun tak ada satu orangpun yang mengetahuinya. Sungguh lihai peminat alat-alat belajar ini.
“Yap, aku yakin akan hal itu dan....”
“Dan kini keyakinanmu salah. Semua itu aku yang lakukan,” Dara berdiri dan berlalu dari hadapanku.
Aku semakin penasaran dengan keadaan ini. Mengapa dia harus mengucapkan kata-kata seperti itu. Apa itu artinya dia benar-benar telah melakukan hal itu. Aku semakin tertantang untuk mengetahuinya.
“Gak sopan banget ya, aku datang kamu malah pergi.”
“So, mau kamu apa? Ceramahi aku lagi? Kamu kan sudah tahu itu perbuatan aku. Sekarang, tunggu apa lagi? Lapor ge sama Bu Guru! Aku tahu kamu mendekati aku untuk memata-matai aku,” Dara mulai jutek dan marah-marah tak tentu.
“Dara, kamu kenapa sih? Aku bisa mencerna kata-katamu waktu itu. Kamu melakukan semua ini bukan dari dulu, tapi baru-baru ini. Kamu tahukan semua yang kamu lakukan itu tak baik dan hanya akan menambah kejelekan image kamu. Seharusnya kamu bukan membenarkan, tapi meluruskan.”
“Bukannya sudah jelek.”
“Iya, aku tahu. Tapi kamu masih punya kesempatan merubah image itu. Bukan malah membenarkannya.”
“Biar saja... biar mereka puas. Puas bahwa kejelekan bapakku memang benar aku miliki dan telah menurun padaku. Biar ejekan mereka jadi nyata. Asal kamu tahu, aku capek dituduh terus. Padahal itu bukan perbuatanku. Rasa capek itu hilang disaat hal itu benar-benar aku lakukan. Dan mulai saat ini, hal itu bukan tuduhan lagi. Tapi kenyataan,” tiba-tiba dara menangis.
Ini pertama kalinya aku melihatnya menangis. Padahal banyak cercaan yang datang padanya. Tapi tak setetespun air matanya yang keluar. Dia memang anak yang sangat tegar. Rasa kasihan menghinggapi relung hatiku. Besarkah problema hidup anak ini? Pertanyaan yang mulai sedikit terjawab.
“Kamu, mau ikut aku?”
“What?” ajakan itu memberi cahaya baru. Tampaknya dia sudah mulai mempercayaiku. Tapi, tiba-tiba aku mulai takut. Apa aku aman bepergian dengannya? Aku takut, karena aku belum mengenali karakternya. Ah, sudahlah aku yakin dia gak kan berani apa-apakan aku.
Sangat menakjubkan kulihat pemandangan ini. Koleksi peralatan belajar teman-teman sekelasku tersusun rapi di sebuah lemari yang dikotak-kotakan, lengkap dengan sebuah nama. Ku perhatikan lebih detail, ternyata itu adalah nama pemilik alat-alat tulis tersebut. Dari sekian banyak kotak, ada satu kotak yang kosong.
“Dara, apa maksud semua ini?”
“Apa aku perlu menjawabnya?”
“Terserah kamu, kamu berhak untuk menjawab atau tak menjawabnya.”
“Aku kecewa dengan orang-orang ini. Mereka selalu menganggapku buruk, bahkan lebih buruk. Kotak kosong itu adalah kotak untukmu. Karena kamu tak pernah berpikiran buruk padaku, makanya aku tak berniat menyakitimu, ataupun mengambil hak milikmu.”
Telah terjawab sudah pertanyaanku, problematika “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya” menjadi dilema diri Dara. Satu hal yang dapat kita pelajari, ungkapan itu tidak terjadi pada semua keadaan. Ada kalanya kebiasaan orang tua turun pada anaknya dan ada kalanya tidak.
Untuk merubah anggapan itu, aku meminta Dara mengembalikan semua barang yang telah diambilnya dari teman-teman dan segera meminta maaf. (Agustus 2007)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istilah-istilah pada Microsoft office dan pengetikan cepat MS office

BATANG TUMBUHAN

BENTUK HIDUP TUMBUHAN