MENYAKITKANKAH?

Cinta pertama.....
Aku tak pernah tahu kapan cinta itu datang pada hari-hariku? Sudah bayak kumbang yang menghampiri, namun tak sedikitpun ku menaruh hati. Entah apa yang terjadi? Rasa itu tak pernah ku tahu?
Sedikit kutelusuri kisah demi kisah sahabat-sahabatku tentang cinta pertama mereka. Namun sampai saat ini aku tetap saja tak mengerti. Akankah cinta itu juga akan sampai padaku?
“Hei-hei lihat itu!”
“Apaan?”
“Cowok yang pake motor gede itu? Huu... kerennya.”
“Mana?”
“Itu, tu!”
“Hah, kalian ini. Baru liat cowok gitu aja dah klepek-klepek. Keren darimana? Orang dia biasa aja.”
“Kamu mana bisa bedakan cowok ganteng, keren dan borju. Dari dulu juga kamu anggap semua cowok itu biasa aja, gak ada istimewanya. Padahal dah banyak cowok yang pedekate dan nembakin kamu. Jadi gak usah kasih penilaian ye!”
“Iya nih, gak bisa lihat temennya senang. BTW semua cowok gak ada istimewanya...? Jangan-jangan kamu...?”
“Jangan mulai deh!” bantahku kesal.
Teman-temanku selalu meledekku masalah cowok dan cinta. Mereka selalu beranggapan aku abnormal karena tidak menyukai lawan jenis. Ada kesenangan tersendiri bagi mereka setiap meledekku.
***
Tak pernah kusadari waktu itu, seorang sosok laki-laki menyita perhatianku. Senyumnya yang menawan, cara bicara yang berwibawa dan sesekali humoris, sekarang tepat berada di sampingku. Diam-diam ku perhatikan dirinya.
“Subhanallah begitu mulia-Nya engkau, nyaris sempurna kulihat makhluk ciptaan-Mu yang satu ini,” Bisik hatiku.
“Astaghfirullahal ’adhzim,” ku sadar dengan apa yang ku pikirkan salah. Ku buang jauh-jauh pandanganku. Namun, hatiku tak bisa menolak dia memang nyaris sempurna.
Sudahlah, buat apa aku memperhatikannya. Dia sepertinya sombong. Buktinya dalam seminar ini yang datang duluan kita berdua, tapi tak ada respect darinya untuk menyapa. Aku tak mungkin memulainya. Sebagai wanita muslimah aku harus menjaga kehormatanku dalam berwibawa.
“Hai, namaku Haris. Aku boleh tahu namamu?”
How... aku serasa melayang mendengar teguran itu. Nyaman... aku dilambung udara kesana-sini. Tak pernah aku bayangkan. Nyaris seperti angan-anganku. Tanpa sengaja bibirku bergerak dan membentuk sebuah senyuman.
“Hallow... kamu gak apa-apa?”
“Ya, mmm... gak apa-apa,” jawabku gugup. Hah, kupikir dia akan selamanya mematung didekatku. Ternyata...
“Namamu siapa?” pertanyaan yang sama menjurus padaku.
“Nama? Kamu bisa baca sendirikan pada kartu nama yang tergantung di leherku!” sedikit lebih cuek. Aku tak mau lebih jauh mengenalnya. Karena kulit belum tentu menunjukan isi.
Keberaniannya mendekatiku patut diacungi jempol. Sudah dicuekin seperti itu dia masih bertanya-tanya. Sudahlah, akupun tak boleh terlalu sombong dalam menghadapi laki-laki. Pertanyaannya ku jawab satu persatu tanpa ku balas dengan rasa ingin tahuku.
“Aku bisa minta no Hp-mu gak?”
“Buat apa? Karna menurutku ini pertemuan pertama dan terakhir. Setelah acara ini kita tak akan pernah bertemu.”
Dia tidak menghiraukan argumenku, usaha demi usaha dia lakukan. Bahkan bergaya pasrah. Karna keadaannya seperti itu, aku terpaksa menyatakan digit-digit angka menuju suaraku.
“Terimakasih, itu nomorku,” seraya nomornya tampil di layar Hp-ku.
***
Entah sejak kapan ku mulai dekat dengannya? Akupun tak menyadarinya. Setiap waktu bertengger pesan singkat darinya menanyakan kabar dan kewajibanku sebagai hamba Allah serta kewajibanku menyayangi lambung-lambungku.
Hari-hari ku lewati tentang ceritanya. Dia orang yang seru, asyik diajak bicara, lucu, motivator yang handal, nyambung dan selalu menjadi pendengar yang baik. Perlahan hatiku mulai luluh. Aku lupa, aku terlalu dekat dengannya.
Tiba-tiba perasaan takut menghampiriku. “Tidak mungkin...” aku selalu berusaha mengingkarinya.
***
“Hmmm... da yang lagi berbunga-bunga nih,” lagi-lagi mereka meledekku.
“Apaan? Ngarang.”
“Halah, jadi itu cowok yang menurutmu keren, yang cowok banged gitu? Kok gak pernah cerita-cerita ke kita kalo da yang lagi pedekate sama kamu?” untuk sesaat tak ku hiraukan ledekan mereka. Namun sebagai seorang sahabat dia berhak tahu tentang hari-hariku.
***
Perhatiannya yang selalu hadir dalam hari-hariku membuatku bergantung padanya. Tiap kejenuhan melandaku, dia orang yang tepat untuk mencurahkannya. Karna aku butuh seseorang yang benar-benar objektif menilaiku dalam permasalahanku. Tak ada satupun kisah yang terlewatkan yang dia ketahui.
Aku lupa kata persahabatan saja tak keluar dari mulutnya. Ada apa denganku ini yang terlalu percaya dengannya. Tapi aku yakin perhatian itu tak sekedar tipuan belaka.
Hari ini hari ulang tahunku, baru kali ini aku sangat merasa bahagia. Kumiliki sahabat-sahabatku dihatiku, ada dia yang selalu siap mendengarkan keluhanku. Terima kasih Allah.
Aku bimbang dengan apa yang aku rasakan. Apakah hal ini juga dirasaknnya? Ada getaran dan cahaya bening tiapku menatap wajahnya.
“Apa ini Allah? Apakah rasa ini Engkau yang menciptakan atau hanya tipuan belaka syaithan yang berusaha menggoyahkan imanku?” bisikku.
Meskipun tak bisa dibendung lagi, aku tak kan berusaha memulai. Aku ini seorang wanita, jadi bukan aku yang mengawalinya. Perang bathin terjadi dalam pikiranku.
Aku hanya tersenyum melihat polah sahabat-sahabatku pada hari itu. Mereka ikut bahagia pada hari ulang tahunku. Tingkah-tingkah lucu mewarnai hari-hari itu. Aku hanya bisa menatap dari sebuah sudut dimana tepat disampingku Haris duduk membisu.
Suasana terasa hening karena kebisuannya dan kekakuanku. Tak satu katapun yang terucap. Bathinku berontak.
“Ayo... Ayo...!” mereka memaksaku.
“Kog hanya diam?” kata-kata pertama yang berbarengan membuat kami tertawa.
“Gak ada sebab. Kamu?”
“Sama. By the way hari ini kamu bahagia banget?”
“Pastinya. Mang Kamu?”
“Mhh... begitu deh. Aku boleh bertanya sesuatu gak?” tanda tanya berkelabat di kepalaku yang ingin mengetahui segera pertanyaan itu. Seiring dengan itu jantungku memacu sangat kencang bak kuda pacu dalam arena pacu kuda.
“Boleh gak? Tapi jangan marah ya!”
“Pertanyaannya saja belum tahu, gimana mastiin marah apa gaknya.”
“Pokoknya kamu gak boleh marah dan kamu harus jawab jujur. Key!”
“Mmmm...”
“Janji lo!”
“Iya, bawel banget sih.”
Dengan mata berbinar dan sedikit cahaya bintang menari-nari di pelupuk mataku. Ku lihat pelangi-pelangi indah di hadapanku, kupu-kupu yang terbang kian kemari mengajakku bermain di udara. Aku seakan melayang. Kebahagiaan ini tak dapat aku ungkapkan dengan kata-kata. Aku yakin kata itu akan terlontar dari mulutnya. Oh, dewa cinta.
“Tya...! Pikiranmu masih padaku?”
“Ya tentu,” aku tersadar dari fly.
“Apa penilaianmu terhadapku? Jawab dengan jujur!” Haris mendesakku segera menjawab pertanyaan itu.
“Penilaian?” tanyaku gugup. Huh apa yang aku rasakan? Sesaat aku ingin dia melontarkan kata-kata dalam harapanku. Sesaat lagi aku tak ingin mengetahui perasaannya terhadapku. Ada apa denganku? Aku takut dengan keadaan yang sebenarnya. Aku belum siap.
“Kamu orangnya baik, suka menolong rajin menabung. Hehe...” jawabku asal untuk melumerkan suasana yang kaku.
“Bukan itu yang ku mau.”
“Tyus apa dunk?”
“Ah, kamu diajakin serius begini. Diajakin bercanda, langsung jutek. Bagaimana perasaanmu terhadapku?”
Alah mak, kluar juga kata-kata itu. Aku harus bagaimana? Tiba-tiba tubuhku berguncang dengan hebat. Mataku mulai sayu dan lama kelamaan mulai tertutup.
“Tya, Tya...! kamu kenapa? Wah gawat, kenapa jadi seperti ini? Gak romantis. Masa ngomong gitu aja dah langsung pingsan? Jangan-jangan ne cewek ada kelainan.”
Antara sadar dan tidak aku mendengar ucapannya. “Stop! Jangan berikan penilaian lagi! Kamu pikir aku tak dengar?”
“Tapi tadi kamu kan?”
“Kan apa? Pingsan? Enak saja meskipun badanku kecil begini, aku ini wanita tangguh. Masa dengar pertanyaan itu saja aku bisa pingsan? Gak level tau. Dijemur seharian di bawah terik matahari saja aku sanggup,” ketusku.
“Jawabnya?”
Haruskah aku yang jujur duluan? Cowok macam apa dia? Jika aku jujur dan tiba-tiba dia tidak merasakan hal yang sama sepertiku, bagaimana dengan perasaanku? Huu... berat...
“Entahlah. Yang pasti, aku takut kehilanganmu, perhatianmu dan motivasi darimu. Kamu?” dadaku bergejolak. Senyum manis tersembur dari bibir merah jambu. Harapan demi harapan terucap di hatiku. Aku berharap dia juga menyatakan aku sangat berarti di hari-harinya.
Ku tatap wajahnya, ada sinaran yang tak ada pada laki-laki lain yang ku lihat sebelumnya. Rasa yang selama ini ku sembunyikan telah kuungkapkan. Lega rasanya. Tak ada beban, tak ada penghalang
“Kamu pasti berpikir semua itu karna rasa sayangku. Tapi maaf, aku tak pernah bermaksud menyayangimu.”
Oh no...
Apa yang aku dengar barusan? Baru rasanya aku menarik nafas, kini dadaku mulai sesak. Aku terhenyak dalam kegelapan. Bola mata yang tadinya berbinar sedikit meredupkan cahayanya. Ada butiran-butiran yang menghalanginya melihat dengan sempurna.
Selalu berusaha untuk menahannya dan menjaga butiran itu agar tidak pecah. Namun kata maaf itu kembali terngiang. Mataku nanar menatapnya. Embun mataku mulai memberat dan setitik demi setitik menjatuh ke pipiku yang montok.
Ku tafakur menahan rasa malu. Sesekali ku hapus butiran bening itu di pipiku. Aku tak bisa berkata lagi. Aku tak tahu apa yang harus aku ucapkan lagi. Ini kali pertamanya kulihat sosok yang mencuri hatiku. Tapi apa yang terjadi? Begitu burukkah aku?
Tak tahan membendung anak sungai yang segera meluap, aku segera menyusuri langkahku ke sebuah kamar yang biasa menemaniku dalam suka maupun duka. Dengan langkah yang sedikit tertatih dan gontai, pikiran yang melayang, ku tetap telusuri keinginan langkah kakiku.
Rasanya baru kemaren keindahan itu aku rasakan. Bunga-bunga menghiasi vas bunga itu, warna dinding merah jambu dan satu set komputer yang menemaniku bercerita. Semua bagai menertawakanku. Sakit, bahkan sangat sakit semua itu.
Hati yang selama ini aku jaga hanya untuk-Nya, ternoda oleh rasa cinta. Apa maksud-Mu Allah? Ampuni aku dengan segala perasaanku. Benar selama ini aku hanya menjaganya untuk-Mu, tapi bukankah Engkau yang menciptakan hati, perasaan? Manusia yang berlawanan jenis yang diciptakan untuk berpasang-pasangan? Salahkah dengan perasaanku ini? Salahkah? Apa rasa ini dari-Mu? Beri aku petunjuk-Mu!
Anak sungai itu mengalir dengan derasnya. Tak sedikitpun yang menghalangi. Kini tepat dipojok sebuah lemari ku bersandar menahan rasa malu dan hiba. Kenapa dia mendekatiku dengan mudahnya? Padahal aku tahu, aku tipe cewek yang tak mudah didekati, tak mudah mencintai. Apa maksudnya? Adakah kekurangan yang membuatnya tak menghargai perasaanku?
“Haris, Tya mana?”
“Tya? Ke kamar mungkin,” kagetnya.
“Mungkin? Bukankah tadi dia bersamamu?”
“I-i iya. Namun berlalu begitu saja dariku.”
Begitu peduli sahabatku itu, hingga sedetik saja tak melihatku langsung bertanya dan mencari tahu tentangku.
“Tya...! astagfirullahal ‘adzhim... kamu kenapa? Haris menyakitimu?”
“Sandra...” ku dekap tubuh sahabatku dengan erat melimpahkan segala dukaku dan meluapkan penyesalanku.
“Ada apa Tya?” tiba-tiba air mata itu juga melesat dari mata Sandra.
“Dia tak menyayangiku San. Apa maksudnya selama ini? Aku kurang apa dimatanya? Lalu cowok-cowok yang selama ini menghampiriku, apa dia tak melihat kekurangan itu. Kenapa mesti dia San?”
“Sabar Yak. Pasti ada jalan keluar dan hikmah dibalik semua ini. Toh laki-laki di dunia ini bukan dia seorang. Perasaan memang tak bisa dipaksakan Yak! Sudahlah! Jangan kamu menangis hanya karena ini!”
***
Hari-hari tanpanya...
Kesedihan itu berangsur-angsur lenyap di hatiku. Ku mulai menata hidupku dan ku mulai mengikuti kembali pengajian-pengajian yang sempat aku tinggalkan selama keterpurukanku. Meskipun aku tahu perasaan itu tak mampu kubuang jauh-jauh. Semakin aku berusaha membuang dan melupakannya, semakin besar ingatanku terhadap hari-hari bersamanya.
Aku yakin perasaan ini dari Allah dan hanya Allah yang berhak menjaganya. Aku tak akan berusaha melupakan atau membuangnya, aku hanya bisa menjaga agar hal yang sama tak akan terjadi kedua kalinya. Kesholehannya memikat hatiku, cerianya membesitkan senyuman di bibirku. Motivasinya membangkitkan hidupku. Jika kamu jodohku, Allah lah yang kelak akan menyatukan kita. Aku tak akan berusaha, kamu akan berpaling lagi padaku. Jika kamu bukan jodohku, aku yakin ada yang lebih baik darimu yang diciptakan Allah untukku.
Aku mengerti dengan perasaan sahabatku yang lama dalam keterpurukan karna cinta pertama yang tak bisa digapainya. Terjawab sudah pertanyaanku. “Menyakitkankah jika cinta pertama tak mampu kita genggam? Jawabnya, benar menyakitkan bahkan sangat menyakitkan. Namun cinta yang datang dari Allah, dia akan selalu ikhlas melihat cintanya bahagia meskipun bukan bersamanya. Dia akan bahagia melihat orang yang dikasihinya bahagia. Cinta tak selamanya harus memiliki. Walau itu menyakitkan.

Kapanku kan menemukan cinta pertama itu? Hooo... mudah-mudahan tak menyakitkan dan tak bertepuk sebelah tangan. Kan kasihan juga. Ntr ky lgux DEWA “pupus”
Ku berharap, ku yang pertama dan terakhir ataupun bukan yang pertama tapi yang terakhir yang tak berusaha membandingkanku dengan wanita sebelumnya. Hoooo...........

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istilah-istilah pada Microsoft office dan pengetikan cepat MS office

BATANG TUMBUHAN

BENTUK HIDUP TUMBUHAN