METAMORFOSIS

Dengan langkah gontai dan tertatih, kutelusuri jalan di hadapanku. Sebuah jalan yang harus ku tempuh, tak berarah dan luas seperti Padang pasir yang tandus dan gersang. Tiba-tiba cincin leherku naik turun, mataku mulai kabur sehingga ku tak mengerti jalan yang ku tempuh. Ku tak tahu sampai dimana aku.
“Aku haus...... haus sekali, kemana aku harus melangkah untuk mendapatkan seteguk air? Jalan ini serasa tak berujung, tak memiliki arah yang harus ku tempuh. Ke arah mana ku harus berjalan? Siapa yang dapat menolongku? Haus... kerongkongan ini seakan menusuk-nusukku.”
Di tengah keputus asaan menelangsaku, ku lihat secercah cahaya yang menyilaukan mataku.
“Air, itu air... akhirnya ku temukan juga pelepas dahaga ini. Alhamdulillah.”
Ku telusuri sumber cahaya itu. Aku semakin bersemangat. Aku terus berjalan dengan cepat bahkan semakin cepat. Tapi apa yang terjadi?
“Kemana air itu? Kemana? Aku lelah menelusuri jalan ini, tapi mengapa secercah cahaya itu tak kunjung juga ku capai? Ada apa ini? Semakin cepat langkahku, semakin jauh terasa air itu. Apa yang terjadi ini ya Allah?”
Secercah cahaya itu hanya sebuah fatamorgana yang terlihat disaat terik matahari pada tempat yang tandus dan gersang oleh teriknya Sang Raja Siang. Secercah cahaya yang sangat didambakan akan terlihat seolah nyata jika dia selalu dalam ingatan.
Dalam keputus asaan dan pengharapan demi pengharapan yang sedikit pupus, kulihat kembali hal yang sama.
“Tidak... tidak... kali ini aku tak akan tertipu olehnya. Itu hanya sebuah khayalan, khayalan yang tak mungkin jadi kenyataan. Hal ini terjadi mungkin karena aku sangat menginginkan dan membutuhkan air itu. Tidak, aku tidak boleh terpengaruh oleh itu.”
Ku palingkan wajahku ke arah yang berlawanan dari arah air yang ku lihat seperti nyata tersebut, tapi hati kecilku berkata lain.
“Ini nyata, kenapa kamu lari dari kenyataan? Ini setetes air yang akan melepaskan dahagamu bahkan lebih dari setetes. Air ini yang akan menolong dan menyejukkan hatimu. Apa lagi yang kamu pikirkan? Cepat telusuri!” hati kecilku melawan ketidak percayaanku.
“Tidak, aku tidak akan melakukan hal itu lagi. Aku capek, aku trauma. Ini semua hanya akan menyakitiku.”
Air itu seolah berkata, “Hai, percayalah padaku! Aku akan menghapus dahagamu itu. Aku akan membantu menghilangkan trauma mu itu. Percayalah padaku! Aku tak sama dengan apa yang telah kamu rasakan dan telusuri itu yang akhirnya menyakiti dan mengecewakanmu.”
Ketegasan itu meyakinkan aku untuk menelusuri jalan itu lebih jauh. Aku seakan yakin ini keputusan yang terbaik yang akan ku jalani. Janji itu.........
Jauh kakiku melangkah,
“Kenapa dengan air yang tadi ku lihat seperti danau yang menyejukkan berubah menjadi sebuah air yang mengalir dari sebuah kran air yang kecil seperti di rumahku. Ada apa ini?”
Dengan heran, langsung kuputar arah kepalaku 1800 dari posisi semula.
Dugh....
“Aw,..... aduh sakit.”
Kepalaku terbentur oleh dinding kamarku sebelah kanan tempat tidurku.
“Astaghfirullah....., ini hanya sebuah mimpi. Apa maksud mimpi ini? Air......? astaghfirullahal ‘adzim aku lupa aku belum melaksanakan kewajiban sebagai seorang hamba Tuhan. Aku lupa sholat isya.”
Sejurus, ku angkat kepala dan badanku dari pembaringan. Pikiranku belum sempurna kembali ke dunia nyata. Ku buka mataku perlahan-lahan, ku usap-usap karena masih terasa perih dan sesuatu menghalanginya membuka sempurna.
Mataku terbuka sempurna dan sekarang tertuju pada satu arah di hadapanku. Yaitu pada sebuah meja yang tersusun rapi oleh sebuah perangkat. Di atas meja bertengger sebuah monitor komputer, di kanan bawahnya terdapat CPU yang membantunya dalam proses bekerja. Di kiri bawahnya terdapat sebuah printer berwarna hitam yang di atasnya terlihat setumpuk kertas yang siap menunggu giliran untuk ditoreh oleh tinta printer sesuai yang aku inginkan.
Di sisi kanan dan kiri monitor terdapat sepasang pengeras suara yang siap menggelar lantunan nada yang ku suka. Di depan monitor terdapat sebuah benda kecil yang menemani perjalananku beberapa tahun terakhir. Pandanganku terfokus pada benda kecil itu.
Pikiranku kembali melayang, biasanya ku terbangun oleh suara merdunya yang menandakan di seberang sana ada yang ingin berbicara denganku.
“Assalamu’alaikum.......” kata salam memulainya
“Oh tidak, itu dulu. Semua tak kan pernah terjadi lagi,” penyesalan sedikit merongrong otakku.
“Sudahlah mengapa hal itu harus diingat lagi. Hal itu tak kan membuatnya kembali seperti dulu. Ahhh... kenapa dengan aku ini? Aku ingin lupakan itu semua. Dan cara yang efektif adalah tidur, tidur dan tidur,” ku tarik kembali selimut yang menghangatkan tubuhku saatku kedinginan.
Bila ingat kembali janji persahabatan kita, tak kan mau berpisah karena ini...
Suara merdu itu berasal dari benda kecil yang menyita perhatianku tadi.
“Assalamu’alaikum.....”
“Wa’alaikumussalam... kog belum tidur Yang?” sapaan kesayangan abangku kepadaku.
“Ha, sudah tidur kog. Tapi terbangun lagi.”
“Kenapa begitu?”
“Iiiya, soalnya aku belum sholat. Hehe...”
“Belum sholat? Sekarang dah jam berapa Yang? Tidak biasanya kamu seperti ini. Yang ada tu biasanya abang selalu disewotin dan diingatin sholatnya agar tidak lalai terus. Eh, ini malah dia berbuat yang sama. Perubahan yang buruk.”
“Perubahan yang buruk... perubahan yang buruk... perubahan yang buruk” kata-kata ini menusuk di pori-pori ingatanku.
***
“Dimana pada penyelenggaraanya, ANDAL dan AMDAL tersebut tidak berjalan sesuai dengan proses yang telah ditentukan. Buktinya banyak sekali kita temukan kasus-kasus dimana industri atau perusahaan-perusahaan yang mereka dirikan memiliki dampak yang sangat buruk pada lingkungan. Sehingga terjadilah konflik sosial antara pemilik perusahaan dengan masyarakat. Hal ini dapat ditangani, apa solusi yang dapat kita lakukan jika kasus ini terjadi di dekat kita sementara jika industri ini ditutup akan mengakibatkan banyak pengangguran. Resi...! coba jelaskan jawabanmu!”
“Saya Buk?” dengan lugas langsung ku jawab “Pecat saja Buk! Gampangkan?”
“Haha.....” teman-teman mentertawaiku. Akupun tak terima dan balik menyatakan argumen sebagai pembelaan.
“Maksud saya Buk, kita laporkan ke pemerintah daerah yang menangani masalah ini. Jika mereka tidak tegas dan malah membela pemilik industri, kita sama-sama mencabut jabatannya alias memecatnya. Karena permasalahan yang marak terjadi saat ini pemda selalu membela dan memberikan kebebasan yang tidak bertanggung jawab kepada pemilik industri.”
“Jawaban kamu benar!”
“Tu kan benar? Mengapa kalian mesti mentertawaiku? Huh... dasar kaliannya saja yang sirik,” jawabku sewot.
“Tapi... bukan itu jawaban yang Saya inginkan. Resi, kenapa saya perhatikan beberapa bulan ini kamu sering melamun? Padahal saya di depan berkoar-koar menjelaskan mata kuliah ini sebaik mungkin supaya nilai kalian bagus dan kalian dapat menerapkan ilmunya di masyarakat. Perubahan yang buruk.”
Kata-kata itu kembali menancap pada pori-pori kepalaku.
“Baiklah, sesuai dengan perjanjian kita pada awal perkuliahan bagi yang 3x mendapatkan nilai kuis di bawah standar akan saya beri hadiah,” kata-kata seorang asisten laboratorium kepada praktikan yang dibimbingnya.
Aku harap-harap cemas, takut namaku terjaring ke dalamnya. Alhamdulillah itu awal yang baik dulunya.
“Baiklah pada hari ini pembagian jatah kedua bagi pemuncak nilai terendah 3x berturut-turut,” akhirnya namaku masuk juga pada anak pancing tersebut.
“Perubahan yang buruk...”
“Ih,... kenapa hal ini terjadi padaku? Padahal aku sudah berusaha semaksimal mungkin dan aku jujur dalam kuis, tapi mengapa ilmu yang aku hafal melompat dari ingatanku? Allah, cobaan apa ini? Kata-kata yang sama harus membebani kepalaku lagi.”
Apa yang ada dalam ingatanku? Kenapa dia sangat berpengaruh dalam hari-hariku? Padahal aku sudah berusaha melupakannya. Semakin aku berusaha melupakan, semakin nyata pengaruhnya terhadapku.
“Kamu kenapa lagi? Selalu saja melamun? Masih memikirkan dia? Sudahlah! Buat apa memikirkan orang yang tak pernah memikirkanmu. Apa kamu tidak merasa kamu jauh berubah. Biasanya jam kuliah selalu duduk di depan. Sekarang?”
“Aku capek dengan semua ini. Ternyata sangat tidak enak jika kita dicuekin oleh orang lain.”
“Dari dulu juga aku sudah bilang padamu, angkat telponnya dan katakan kamu telah memaafkannya. Tapi apa yang kamu lakukan? Kamu mengikuti kata-kata seseorang yang masih kecil pengetahuannya tentang masalah yang kamu alami. Dan sekarang kamu juga merasakan hal yang sama kan? Merasakan perjuangannya meminta maaf padamu dan berusaha telponnya agar diangkat. Sekarang apa kamu mengerti kesalahan yang telah kamu lakukan?”
“Aku mengerti. tapi semua sudah terlambat.”
“Tidak ada kata terlambat. Telponlah dia!”
“Sudah, tapi apa yang aku dapatkan. Dia selalu membela diri. Menyalahkan aku, nyuekin aku dan kata-katanya keras padaku. Dia telah berubah tak seperti dulu.”
“Lalu kamu balas dengan kekerasan hatimu? Jadi pantas saja dia akan berbuat seperti itu. Harusnya kamu sabar dan mendengarkan apapun kata-katanya. Asalkan kamu mendapatkan jawaban iya aku telah memaafkanmu.”
“Sabar seperti apa lagi? Sudahlah, aku semakin jenuh mendengar ocehanmu.”
“Mulai kan? Aku tak pernah melihatmu membantah seperti ini kepada siapapun termasuk padaku terkecuali jika itu benar-benar salah. Kamu banyak berubah, berubah dan berubah. Mana ceria dan senyumanmu yang dulu? Perubahan yang buruk, kamu tahu? Perubahan yang buruk. Aku saja tak bisa mempengaruhimu untuk berubah, tapi mengapa orang yang baru kamu kenal dalam hitungan bulan saja mampu membuatmu berubah?”
***
“Hahhh... pusing, lebih baik tidur. Biar dia kelaut dari pikiranku”
“Bapak kecewa sekali melihat hasil ujian mid kalian. Hanya beberapa orang saja yang nilainya di atas standar. Perlu usaha keras jika kalian ingin memperbaiki nilai. Kuliah dengan saya tidak ada yang namanya ujian perbaikan. Tapi kemauan kalian sendirilah yang akan memperbaikinya. Mumpung belum semesteran. Resi susanti, kamu harus usaha keras jika mengingnkan nilaimu dapat diperbaiki!”
“Huh, kenapa namaku terperangkap dalam sederet nilai paling bawah. Kesalahan aku juga. Sebenarnya aku mampu lebih baik dari itu, jika saja aku jujur pada bapak bahwa aku tak siap mengikuti ujian pada hari itu karena kepala dan perutku sangat sakit. Bahkan untuk menulis saja tanganku meminta ampun. Makanya tulisanku seperti cacing-cacing yang bergelimpangan. Tapi buat apa penyesalan ini? Tak kan merubah nilaiku. Apa yang harus aku ucapkan pada sahabatku? Dia pasti berkata lagi, ini perubahan buruk...”
“Ya sekarang penuntunnya letakkan di atas bandul! Karena kuis akan segera dimulai.”
“Secepat itu? Aku belum punya persiapan apa-apa? Teman-teman yang lain sudah siaga dengan ajian massaidnya. Maksudnya jimat atau hasil batikkannya. Apa aku harus melakukan hal yang sama?”
“Resi, ingatkah kamu waktu SMA dulu? Kamu dituduh melakukan hal yang tidak kamu lakukan. Kamu dituduh buat contekan di kertas dan kertas tersebut berada di dekatmu. Padahal kertas itu tak ada sangkut pautnya dengan ujianmu waktu itu. Mungkin kebetulan yang tidak bisa diterima, hasil ujianmu waktu itu menjulang jauh dari teman-temanmu yang lain dan hanya kamu yang lulus di atas standar. Kamu dipermalukan oleh guru PL di sekolahmu. Itu kan yang membuatmu benci dengan Biologi? Jadi jangan ulangi kesalahan yang sama! Ingat itu perubahan buruk!” hati kecilku memberontak dengan solusi yang akan aku lakukan.
“Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku tak mau namaku terjaring lagi. Aku sudah berusaha sungguh-sungguh, tapi hafalan itu tak terhisap oleh otakku karena otakku tak memiliki sucker sekarang ini. Apa yang harus aku lakukan? Tidak, aku harus berusaha.”
Ku toreh secarik kertas kecil berupa kata-kata kunci yang mungkin membuatku gampang menghafalnya. Ku ringkas teori tersebut. Tapi apa yang terjadi?
“Ndeh, dah pandai kak Resi membatik mah? Sejak kapan? Ada kemajuan, perubahan yang buruk.”
“Nilai sudah hancur begini masih saja dicurigai. Memangnya aku sama dengan mereka yang menghalalkan segala cara untuk nilai yang bagus dan berujung demi dunia. Sudahlah biarkan mereka dengan pandangan dan anggapan mereka sendiri. Yang penting yang tahu aku hanya diriku dan lillahi ta’ala,” bisik hati kecilku.
Ku jalani apa yang menurutku benar, ku berusaha mencari pelarian agar hari-hariku yang biasa mendengar ngakaknya sekarang menjadi sepi di telinga. Ku masuk ke dalam sebuah tempat dimana biasanya ku gunakan untuk mencari tugas, sekarang ku gunakan untuk bermain facebook. Disana, sedikit pikiran tentangnya hilang walau terkadang dia gentayangan lagi.
Aku tahu ini sebuah perubahan yang buruk. Karena dulu aku sempat menentang teman-teman yang rela menghabiskan uangnya untuk bermain facebook di warnet dan untuk membeli pulsa guna mengakses facebook dari ponselnya. Tapi aku punya pemikiran lain, “Mumpung gratis, hehe...”
Ku jalani hidupku yang seperti ini, lama-lama aku jenuh dan bosan. Dia tetap saja tak hilang dari ingatanku. Siapa dia, begitu hebatnya membuat perubahan padaku. Padahal ku tahu, aku adalah orang yang tidak mudah dipengaruhi. Tapi mengapa dia mampu mengubahku? Awal perkenalan dia mampu membuatku optimis dalam hidup, motivasinya membuatku bangkit dan akhirnya dapat tercapai apa yang aku harapkan, membuatku ceria dan selalu tersenyum. Tapi mengapa sekarang konflik dengannya membuatku hancur dan rapuh seperti ini?
Seiring dengan itu ku tulis status dengan kata-kata yang jauh dari karakterku. Hal ini menuai kontroversi dari kalangan teman-temanku. Mereka complain terhadapku, terhadap perubahanku baik di statusku bahkan sampai menyatakan langsung padaku. Aku tak bisa berkelik. Memang hal itu aku lakukan karena aku ingin menulis sebuah cerpen yang ingin aku rangkai, tapi kekuatan menulis itu hilang begitu saja. Mungkin karena kesibukan dan gagalnya aku bergabung dengan sebuah media yang sangat aku impikan bergabung, jauh sebelum aku sampai disini.
Jika dia memotivasiku, pasti aku mampu. Tapi dia yang menyebabkan aku tak kuasa menapaki tempat itu karena ada seseorang yang memiliki karakter yang mirip dengannya. Aku ingin menghapus hal itu. Tapi bagaimana bisa? Jika disekelilingku ada bayang-bayang rasa bersalah ini terhadapnya.
Kontroversi ini sampai pada perubahan penampilanku yang sangat feminim sehingga teman-teman menganggapku sedang fall in love. Tapi mereka salah, mungkin ini yang dikatakan metamorfosis. Tapi apakah metamorfosis yang aku jalani ini benar? Tentu jawabannya tidak.
Mulai hari ini aku harus kembali merangkai hari-hariku yang sempat mengalami metamorfosis yang tidak sempurna. Apalah dia? Siapalah dia? Dia hanya makhluk yang tak pantas aku hancur hanya karenanya. Tapi jika Allah yang berkehendak hari ini aku binasa, aku harus ikhlas menjalaninya. Meskipun sulit melupakan hal yang ingin dilupakan. Tapi jika kita sungguh-sungguh, kita pasti mampu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istilah-istilah pada Microsoft office dan pengetikan cepat MS office

BATANG TUMBUHAN

BENTUK HIDUP TUMBUHAN