CINTA DI UJUNG JALAN
Oleh
RESI SUSANTI
Di hari pernikahan yang seharusnya menjadi momen penting bagi setiap orang, justru ku rasakan malah sebaliknya. Pria idaman yang ku harapkan menjadi pelabuhan terakhir hati yang kini entah apa kabarnya. Janji terpatri mencapai mahligai istana sebagai puncak terakhir cinta hanya impian belaka.
“saat langit masih biru, harapan telah kelabu. Dia hilang bagai ditelan bumi. Kota Jakarta, kota keras yang mencekam telah melenyapkannya. Ataukah wanita disana telah menggaet hatinya? Sehingga dia menemukan penggantiku dan melupakan aku.”
“Jika kita jodoh, Allah lah yang akan menyatukan kita. Kepergian Abang untuk mengejar cita-cita dan memperbaiki ekonomi keluarga. Ini demi masa depan kita juga kelak kita bahagia bersama.”
Untaian kata-kata yang menanamkan perih sampai ke ulu hati semakin bertambah sakit dengan sepoi-sepoi angin yang meriakan buih di tepi pantai itu. Karna tempat ini mengingatkanku pada Indra saat bersama melalui waktu di kala Raja siang kembali ke peraduannya.
Senja itu seakan tak hilang dalam ingatanku, meski waktu telah mengubah posisi jarum-jarum itu. Tiada senyum menyambut pagi dengan sekuntum bunga di taman hati. Jarak telah merubah segalanya.
***
Tiga tahun sudah semua berlalu. Tahun ini tiada kabar darinya. Resah tak menentu menyelimuti kalbuku. “Apa yang terjadi dengannya? Allah, beri aku jawabannya! Apakah kesulitan hidup membuatnya melupakan aku? Ataukah wanita kota yang telah menjerat hatinya? Allah, apa yang harus aku lakukan? Kenapa dia tega mencampakkan aku dengan kesetiaan ini.”
***
Umur yang semakin mendekati kewajiban telah datang menyapa. Namun Sang pujaan hati belum juga kembali ke pangkuanku. “Apa dia lupa dengan janji-janjinya?”
Hatiku semakin teriris ketika keluarga dan karib kerabatku selalu bertanya “Nak, kapan kamu menikah? Sekarang umurmu sudah berapa? Jangan sampai telat!”
“Mau jadi perawan tua kali mak. Ntah sampai kapan dia akan menunggu Sang pujaan hati ‘Indra pribawa.’ Kasihan kamu Na... Na... mengharapkan sesuatu yang tak pasti. Padahal ada Abimanyu yang telah menunggu dan berkali-kali datangmelamarmu. Kalo aku, pasti aku terima. Soalnya Abi kan ganteng.”
“Ya sudah nikah sama kamu saja. Sekalian tu nikah sama gantengnya!” jawabku memelas.
“Aku sih mau saja, tapi sayang... aku sudah ada yang punya,” sepupu Rina berlalu sambil bernyanyi dengan riangnya.
“Rin, Abi baik ya, ganteng lagi. Menurutmu bagaimana?”
“Ibu mau ikut-ikutan Soraya, jodoh-jodohin aku sama Abimanyu? Iya kan? Ibu, tolong mengerti aku! Aku tak bisa merusak kesetiaanku ini.”
“Tapi Rin.”
“Sudahlah Bu,” aku segera menghindar dari pertanyaan yang akan menggoyahkan kesetiaan ini.
“Aku mampu bertahan di atas kesetiaanku selama ini. Apa aku harus menodainya dengan menerima lamaran Abi? Tidak, aku tak mau berkhianat. Indra... kamu dimana? Kirimi aku kabarmu! Agar aku tahu apa yang harus aku lakukan?”
Kanda dimanakah kau berada, aku ingin bersamamu meski lewat nada....
“Apa-apaan ini?”
“Hei Miss, sekarang tu udah pukul enam pagi. Masih molor aja lu. Idih matanya bengkak. Menangis semalam ya? Hayo ngaku!”
“Apa urusanmu sih. Kluar sana ganggu ketenangan orang saja. Lama-lama gua bisa stress kalo lu masih disini.”
“Miss, shubuh lu dah kesiangan tu. Anak perempuan apaan jam segini masih tidur?”
“Gue masih ngantuk,” aku tarik kembali selimutku yang dijatuhkan Soraya ke lantai.
“Ayo bangun!!! Kanda, dimanakah kau berada.”
“Stop!!! Hentikan lagunya!!! Aya, bisa gila gue kalo lu lama-lama di rumah gue. kapan lu balik?”
“I’m sorry Non, Ane satu bulan disini. Lupa, ane libur kan satu bulan. Wkwkwk,,, so, biasakan diri ya dengan kehadiran Ane disini! Kasihan Ane lihat Ente ‘Bagaikan pungguk rindukan bulan.’ Mmmm.....” Soraya berlari keluar dan segera membanting pintu.
***
Dengan langkah yang berat ku ikuti kemana kaki ini ingin melangkah.
“Assalamu’alaikum Buk, ini Rina. Ibu masih ingatkan?”
“Ya tentu dong Rin.”
“Ibuk apa kabar?”
“Alhamdulillah sehat.”
“Maaf Buk, Rina mau tanya kabar Bang Indra. Sudah satu tahun ini Rina tak dapat kabar. Rina juga sudah berusaha mencari tahunya dan mencoba menelpon ke nomor yang pernah Abang pake buat nelpon Rina. Tapi kebanyakan nomor tersebut telah mati dan ada juga nomor temannya. Temannya juga bilang dia tak tahu Abang lagi dimana.”
“Waduh Rin, Ibuk juga berpikiran seperti itu. Ibuk juga ingin tahu kabar Indra dari kamu.”
“Gitu ya Buk. Ya sudah Buk, nanti kalo Rina dapat kabar, Rina kasih tahu Ibuk. Makasih ya Buk! Assalamu’alaikum.”
Hatiku hancur berkeping-keping, harapanku mulai memudar. Aku tak percaya orang tua Indra berkata seperti itu. “Mana mungkin Indra tidak mengabari keluarganya? Apa mereka sengaja menutup-nutupi ini semua?” Wasangka demi wasangka terbesit dari pikiranku.
Hari ke hari aku semakin merasa terpuruk. Aku jenuh dengan desakkan keluargaku yang memintaku untuk segera menikah.
“Rin, kamu semakin tak tahu jati diri. Kenapa kamu harus seperti ini? Cukupkanlah penantianmu sampai disini! Apa dia peduli dengan kesetiaanmu? Sudahlah Nak! Lupakanlah Indra! Terimalah keinginan baik Abi untuk meminangmu.”
Nasehat Ibu semakin menggetarkan hatiku. Ibu bukannya memotivasi, malah mematahkan semangatku dan berusaha menggoyahkan kesetiaanku.
“Huh, aku capek dengan semua ini. Dra, tenanglah aku akan jaga kesetiaan ini sampai waktunya tiba,” janji hatiku untuknya.
***
Kring... kring... kring...
“Hallo sayang,” tiba-tiba sapaan ramah berasal dari seberang sana.
“Kamu siapa? Langsung saja berkata seperti itu.”
“Waduh Rin, masa kamu gak kenal lagi dengan suaraku. Jangan-jangan kamu tak mengingatku lagi? Say, kenapa kamu segitunya sih?”
“Indra?” sentak aku kaget. Pikiranku melayang, dalam pikiranku Indra, Indra dan selalu Indra. Dengan lugas aku menyerukan nama Indra.
“Rin, aku pulang hari ini. Aku harap kamu menunggu aku di rumah dengan senyuman. Kita akan menggapai impian kita Rin.”
Dengan berlari aku menghampiri Ibu.
“Ibu, aku pamit ke tempat Indra ya! Indra hari ini pulang. Aku harus segera kesana,” dengan wajah berseri Ibu mengizinkan aku.
“Pergilah Nak jika kamu yakin yang menghubungi kamu barusan adalah Indra.”
“Makasih ya Bu!”
“Tapi apa kamu yakin? Ibu takut jika kamu kecewa dengan keadaan yang sebenarnya.”
“Aku yakin Bu. Bu, aku berangkat dulu. Assalamu’alaikum.”
“Ya Rabbi, aku bahagia ketika melihat anakku bahagia seperti ini. Semoga engkau mendapatkan yang terbaik Nak!” doa Ibu selalu mengiringi langkahku.
Mulutku komat-kamit mengucap syukur pada Allah, akhirnya penantianku membuahkan hasil.
***
“Astaghfirullah.... kamu kenapa Nak?”
“Ibu, maafkan aku yang tak pernah mendengarkan kata-kata Ibu. Aku menyesal Bu. Indra belum kembali. Yang menelponku bukan Indra. Bagaimana mungkin itu Indra suaranya saja berbeda.”
“Ya Allah Gusti... yang sabar Nak! Tenangkan pikiranmu. jangan kalut seperti itu! kamu tahu darimana?"
"aku sudah curiga Bu, itu bukan suara Bang Indra. tapi...."
"Sudahlah Nak! Sekarang istirahatlah! Wajahmu pucat begini.”
Tak pernah ku pikir ternyata aku masih dapat melalui hari ini. Hati ini semakin rindu padanya. Semoga dia baik-baik saja.
“Hai Rin, baru balik dari rumah camer nih. Tapi sayang, nasib-nasib tidak mempertemukan kamu dengannya. Kasihan banget lu Rin mengharapkan sesuatu yang tak mengharapkan kamu lagi.”
“Tahu dari mana?”
“Hmm,, bodoh banget lu Rin masa kamu tak mengenali suaraku.”
“Tega Kamu Ko. Jadi Kamu yang nelpon aku kemarin?” kebencian ini semakin menggebu-gebu lihat ekspresi Miko yang meledekku habis-habisan. Apakah Miko punya dendam denganku karena cintanya ku tolak demi Indra. Huh, sudahlah, aku tak mau berwasangka.
Rindu ini terasa indahnya bila kau ada disini bersamaku memadu kasih. Ingin ku ungkap segala rasa yang ada di jiwa...
Meskipun aku selalu menghindar dan berbuat keras pada Abi, namun dia tak pernah putus asa. Dia selalu menghiburku dan membawaku ke tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi. Abi, laki-laki yang baik. Tapi bagaimana dengan janji hati ini untuk Indra?
“Tuhan, apa aku harus menyakiti laki-laki baik ini terus-menerus? Sampai kapan?” bisikku lirih sembari menatap wajahnya yang berpolah menghiburku. Terlihat keikhlasan pada rona wajahnya.
Semoga ini pilihan yang terbaik....
Kesetiaanku pupus, cukuplah cinta ini sampai disini.
***
Hari ini hari pernikahanku dengan Abimanyu. Namun wajah Indra tetap saja berkelabat dalam otakku. Indra seolah-olah telah memenuhi rongga otakku ini.
“Berdosakah aku Tuhan saat pernikahanku ini yang ada dalam pikiranku adalah orang lain, bukan suamiku. Mulai saat ini aku harus memprioritaskan pikiranku pada Abi. Maafkan aku Indra Cintaku tlah sampai di ujung jalan.”
Dan mungkin bila nanti, kita kan bertemu lagi satu pintaku jangan kau coba tanyakan lagi rasa yang pernah ku beri....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istilah-istilah pada Microsoft office dan pengetikan cepat MS office

BATANG TUMBUHAN

BENTUK HIDUP TUMBUHAN