CiNtaKu


Grandma My idol
“Cu, jadilah anak yang baik, pandai-pandai bergaul, jangan sampai masuk ke jurang kesesatan. Prioritas utama hidup adalah menyembah Tuhan.”
Pesan itu seakan menghujatku. Sudah dua kali pesan yang sama hadir dalam mimpiku, dan ini untuk yang ke tiga kalinya. Pikiranku melayang tak karuan. Pasalnya sudah lama aku tak bertemu nenek sejak insiden itu. Nenek apa kabarnya ya?
***
“Cu-cu bagaimana sih? Anak gadis tidak memperhatikan penampilan. Rambut tak pernah diikat, gak mau pake anting, pakaian semrautan lagi. Baju macam apa ini? Bahunya turun-turun.”
“Duh, Nenek... please deh penampilan seperti ini lagi ngetrend dikalangan remaja saat ini. Lagi pula gak jelek-jelek amat.”
“Hush... jangan sebut-sebut iblis gitu! Gak baik.”
“Please Nek bukannya iblis, tapi please. Lagi pula gak ada cowok yang ingin aku gaet. So, buat apa harus berdandan ria.”
“Cu-cu emangnya berpenampilan cantik karena ingin menarik perhatan cowok.”
“Pasha Nek! Bukannya Cucu. Kalo Cucu cahyati mah penyanyi dangdut Nek. Itu lo yang sudah lama tak nongol-nongol di TV.”
“Anak remaja sekarang, neneknya masih saja dikerjain. Cucu cahyati kan tetangga sebelah.”
“Nenek, pembantu tetangga sebelah namanya Suryati Nek. Bukannya Cucu cahyati,” bantahku kesal.
“E-eh... Nenek benarkan? Ada unsur yati-nya.”
“Nenek... ah Nenek payah. Sudahlah Nek.”
***
Hari ini lelah sekali karena pulang sekolah mesti mengikuti belajar tambahan. Pulangnya jadi kesorean deh. Capekku semakin menggebu-gebu saat nenek memberiku kultum. Untung tak lama-lama, kalau tidak... hah capek deh. Tidur ah.
“Pas, heh bangun! Mandi dulu! Tak baik tidur maghriban,” suara nenek tiba-tiba membangunkanku dari tidurku yang lelap dan mimpiku melayang begitu saja.
“Pasha Nek, bukannya Pas. Emangnya salonpas.”
“Salah mamamu sih, ngasih nama anak ndok yang bagus. Nih ngasih nama anak pasa. Padahal Pasa tu tempat beli sayuran.”
“Itu namanya pasar Nek, ya udah pasha mandi dulu ya Nek. Sekarang Nenek keluar dulu, sorry ya nek,” sembari mengiring nenek ke luar kamarnya.
“Jangan lupa sholat maghrib, terus langsung ke bawah makan malam bersama,” nenek berusaha mengingatkanku yang sering ketiduran saat sholat maghrib.
“Beres Nek!” jawabanku yang berusaha menyenangkan hati nenek.
“Cu, ini duit beli anting. Tapi jangan yang imitasi, perak atau sejenisnya, tapi belilah emas murni. Penampilanmu itu kudu dijaga. Potong rambut ke salon dengan model yang cocok dengan bentuk wajahmu.”
“Iya Nek.”
Kalau soal duit mah nenekku super baik, beruntungnya. Kalau begini terus siapa juga yang tidak akan sayang sama neneknya. “Nenek, aku sayang kamu. Mmmmuah.....”
“Anak zaman sekarang diberi duit ngelonjak, diberi petuah dibantah dan malah pergi.”
***
Hari-hariku selalu ditemani nenek, papa dan mama terlalu sibuk dengan keegoisan mereka masing-masing dalam meniti karier. Aku merasa masih beruntung karena aku tak seperti anak jalanan yang meminta-minta belas kasihan demi uang sesuap nasi disepanjang lampu merah. Ataupun tak seperti anak remaja sekarang yang hidupnya ugal-ugalan.
Teeet... teeet... teettt....
“Cu, teman-temanmu sudah datang tuh. Cepat nanti mereka kelamaan nunggu!”
“Ya, Nek,” hirukku dari dalam kamar. “Nek, aku berangkat dulu ya. Daaa....”
“Cu, tunggu!!!!”
“Ada apa lagi Nek? Aku buru-buru neh.”
“Sudah lupa apa ya yang nenek ajarkan selama ini. Pamitan dulu sama nenek trus sungkeman dan ucapkan salam!”
“Eh, iya, maaf ya Nek. Nek, Pasha berangkat dulu ya Nek. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumussalam. Nah beginilah anak remaja sekarang yang tidak melestarikan budaya tebar salam, yang telah diajarkan sejak kecil,” nenek komat-kamit sendirian.
***
“Duh, anak nenek,” ledekan teman-temanku tak pernah membuatku malu. Aku heran kenapa anak remaja sekarang menganggap nasehat neneknya membuat kuping mereka panas dan cerewet tak karuan. Sama dengan teman-temanku yang slalu menirukan ocehan neneknya. Walau terkadang pikiranku sama dengan mereka, tapi aku tahu semua nasehat nenek demi kebaikan cucu-cucunya. Hanya cucu-cucu mereka tersebut yang tidak pernah mengerti akan hal itu.
Kasihku sampai disini, kisah kita jangan tangisi...
Lantunan suara Glenn Fredly berdering di ponselku. Aku selalu berharap sekali-kali dari mam atau papaku. Tapi semua nonsen karena mereka tak pernah peduli padaku.
“Iya Nek, sekarang aku lagi di sekolah. Ntar lagi juga akan pulang.”
“Ingat Cu, sepulang sekolah langsung pulang ke rumah! Jangan keluyuran kemana-mana.”
“I-iya Nek.”
“Nek, Pasha lagi nongkrong di cafe,” tiba-tiba keributan teman-teman mencuat di dekat telpon genggamku.
“Udah ya, Nek. Assalamu’alaikum.”
“Kalian apa-apaan sih. Ngomong kaya’itu .Kalo nenek aku dengar gimana? Bisa stroke, tahu?”
“Pasha-pasha sejak kapan sih lu jadi tukang kibul? Anak nenek sudah pintar ngibul ya? Makanya kalo hidup jangan di atas bayang-bayang nenekmu.”
“Cu, jangan pernah berkata bohong karena kebohongan pertama adalah pembuka kebohongan selanjutnya untuk menutupi kebohongan yang pertama. Ingat ya Cu! Ha... ha... ha...,” mereka kembali terbahak.
Aku jadi terinspirasi dari nenek. Aku ingin membuat nenekku bahagia dan bangga padaku. Aku berpikir untuk membuat syair dan sebuah lagu yang ku persembahkan untuk nenek. Ini tantangan bagiku, selama ini begitu banyak syair, lagu dan puisi yang tercipta hanya untuk menyembah keagungan cinta. Tapi tak ada satupun yang tercipta untuk menghargai jasa seorang nenek. Padahal beliau juga termasuk orang yang berjasa besar dalam hidup kita. Karena kasih sayang beliaulah dapat menggantikan kasih sayang orang tua yang tak peduli dengan anak-anaknya.
***
Nenek lagi nginap di rumah tante, kangen juga. Soalnya tidak ada yang sewot lagi padaku. Ah, sepi nih, rumah sebesar ini sendirian. Nenek apa kabarnya ya?
Tiba-tiba rasa khawatir dan takut menggrogoti otakku. Aku seolah-olah merasakan akan jauh dari nenek. Aku merasa nenek akan pergi jauh meninggalkan aku. Aku cemas, aaaaku... kenapa aku sangat merindukan nenek? Apa nenek juga rindukan aku? Mimpi itu, ah gak mungkin, gak mungkin terjadi sesuatu pada nenek.
Mimpi itu membuatku menafsirkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Aku seolah-olah dalam khayalan. Khayalan yang melukiskan tentang keadaan nenek saat ini. Khayalan yang membuatku takut akan kebenarannya. Aku tak mau membuka mata, aku takut disaat mata terbuka, kemungkinan itu benar terjadi.
***
“Bi, yang lain mana?”
“Oh, nyonya dan tuan pergi ke rumah sakit Non.”
“Siapa yang sakit Bi?” belum satupun kata keluar dari mulut Bi Mira, tiba-tiba hatiku menderu ketakutan.
“Nenek, Astaghfirullah ternyata firasatku benar. Kenapa tidak ada yang bilang padaku Bi?”
“Iya bener Non, nenek Non masuk rumah sakit.”
Aku berlari berurai air mata menuju rumah sakit. Aku takut terlambat sampai disana. Aku takut tak dapat menatap senyum nenek meski untuk yang terakhir kalinya. Aku masih ingin dengar kesewotan nenek padaku.
Tak tertahankan bagiku melihat kondisi nenek yang meringkuk kesakitan berperang melawan penyakit yang diderita nenek. Aku tak tega melihat nenek yang dengan kepasrahan bertarung hidup dan mati.
Wajah yang keriput, badan yang kurus dengan mata yang cekung, tangan yang ditusuk sebuah slang kecil yang setiap detiknya mengalir cairan ke tubuh nenek dan dua buah slang yang sejajar di kedua lubang hidung nenek yang membantu nenek untuk bernafas. Sebuah benda mati memperlihatkan kekuatan nenek untuk bertahan, yang setiap detiknya berjalan dengan frekuensi garis-garis yang lenggak-lenggok atau mendatar.
“Nek, jangan tinggalkan Pasha dulu. Nenek dulu janji akan melihat Pasha berhasil. Jadi dokter seperti keinginan nenek. Pasha janji akan rajin belajar agar cepat jadi dokter dan dengan tangan Pasha ini akan mengobati nenek. Nek, bangun Nek! Nenek, Nenek ingat nenek pernah berjanji dan berkeinginan untuk hidup seribu tahun lagi sampai nenek melihatku bersanding dengan pria yang sholeh? Untuk itu aku mohon Nek bertahanlah demi aku!” tangis pilu menusuk sampai ubun-ubunku. Suara tangisku mulai menggelegar dan menghentakkan seisi ruang tempat nenek di rawat. Jantungku berhenti berdetak, nafasku kembang kempis ketika melihat garis pada benda mati itu melaju datar.
“Ma, nenek Ma. Garisnya mulai lurus Ma,” suasana di kamar itu mulai tegang. Tangisan beriringan muncul dari setiap orang yang berada di kamar itu. Aku benar-benar pasrah dan merasa tak kuat.
“Pasha...” jeritan kecil keluar dari mulut nenek.
“Nenek sadar, nenek sadar Ma. Alhamdulillah,” garis itupun mulai melenggokan jalannya. Nenek tersenyum melihatku disampingnya dan tangan nenek menggapai tanganku. Namun tiba-tiba tangan nenek terkulai lemah seiring garis itu melaju lurus.”
“Nenek...” jerit Pasha yang mengagetkan seantero rumah sakit.
“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.”
“Pasha, sudahlah! Biarkan nenek beristirahat dengan tenang. Sabar ya Sayang!”
Kepergian nenek membuatku merasa kehilangan yang teramat dalam karena tak kan ada lagi yang akan memberikan perhatian kepadaku. Aku sangat merindukan suasana bersama nenek.
Aku terlihat murung dan selalu dibayang-bayangi kasih sayang nenek. Aku selalu beranggapan dengan musibah ini, melayanglah sudah kasih sayang yang telah ku miliki. Tapi hari ini asing sekali bagiku karena papa dan mamaku sangat perhatian padaku melihat kemurunganku. Mama dan papa yang jarang di rumah, sekarang malah sering di rumah. Mereka selalu menanyakan keadaanku, apakah aku sudah ikhlas melepaskan kepergian nenek.
“Pasha kamu masih murung Nak, kamu rindu nenek?” pertanyaan itu membuatku terharu, aku seolah melihat kasih sayang baru. Tubuhku tersandar ke mama dan mama mendekapku erat.
“Mama, aku sangat merindukan nenek. Tapi dengan perhatian mama padaku, aku seakan merasakan kehadiran nenek di sampingku. Ma, kenapa baru kali ini mama menanyakan perasaanku? Apakah dengan kepergian nenek mama berusaha merebut hatiku?”
Mama terdiam sejenak mendengar pertanyaanku. Mama segera meminta maaf karena selama ini mengabaikanku. Aku mengerti dibalik musibah, tersimpan hikmah. Dengan kepergian nenek, mama menyadari kesalahannya dan aku mendapatkan kembali kasih sayang yang dulu pernah hilang dari mama dan papaku.
“Nek, nasehat nenek akan selalu hidup di hatiku, Grandma My Idol.”
Cinta sejati akan selalu hidup dan tumbuh di hati seseorang, selagi kenangan kebaikan itu selalu jadi panutan dan kenangan terindah dalam hidup.
**The End**
(Terbit: di Harian Haluan, Minggu, 11 Maret 2007/21 Safar 1428 H)
Note:
Cerpen ini ditulis dalam waktu tiga jam saat nenekku sakit parah. Namun pada saat itu alhamdulillah Nenek masih menjalani hidupnya beberapa tahun lagi. Tokoh nenek yang digambarkan disini adalah nenekku banget, yang bawel namun bawelnya kebaikan untuk cucu-cucunya. Sehingga membuatku sayang banget pada beliau. Tapi sayang, aku tak bisa mengabulkan harapan nenek karena aku bukan calon seorang dokter dan nenek tak bisa menatapku lagi ketika suatu saat aku bersanding dengan pria sholeh seperti impian dan angan-angan nenek.
Hari ini aku sangat merindukan nenek karena beliau telah menghadap_Nya tanggal 26 ramadhan tiga tahun lalu. Dari awal ramadhan beliau sakit, beliau selalu merengek agar aku selalu tidur disampingnya dan setiapku keluar rumah beliau selalu berpesan, “Nak, setelah pulang dari masjid, langsung pulang ke rumah!” karena waktu itu aku juga jadi panitia pesantren ramadhan.
Satu pelajaran yang ku dapat dari beliau, separah apapun sakitnya bahkan bulan ramadhan terakhir beliau, beliau tak kuasa berjalan oleh karena itu harus selalu dipapah ketika berwudhu, yang namanya jam sholat selalu beliau tanyakan bertepatan akan masuk waktu sholat. Padahal pendengaran beliau telah kabur. Tapi masih saja mengetahui waktu sholat telah masuk. Setiap hari beliau bertanya, “Sudah berapa hari ramadhan berjalan? Berapa hari lagi kita lebaran? Nenek ingin pas lebaran nanti sholat idul fitri bersama kamu dengan menggunakan mukenah baru,” karena kebetulan waktu itu Cucu beliau yang lain sedang mengirimkan paket mukenah untuk beliau. Sakaratul maut beliau bertepatan waktu isya masuk, sehingga malam itu beliau tidak sholat Isya. Subhanallah sungguh berseri wajahnya ketika aku pandang.
Waktu itu aku berpikir tak mampu hidup tanpa beliau karena memang saat itu hanya beliau yang sangat menyayangiku seutuhnya. Selama tiga bulan rasa lelah masih saja terasa. Setiap malam, ku merasa mendapatkan belaian lembutnya di kepalaku dan seketika aku bangun, tepat pukul tiga dinihari.
Nek, I Love You.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istilah-istilah pada Microsoft office dan pengetikan cepat MS office

BATANG TUMBUHAN

BENTUK HIDUP TUMBUHAN