Cerita Hidup
Masihkah
Untukmu???
Harusnya aku membencimu, tapi tak pernah ku lakukan. Ketika
hatiku merasakan kasih dan sayang, dia akan selalu saja begitu meski disakiti
berkali-kali. Harapan kita yang pernah terukir, kini ku tempuhi sendiri. Semoga
aku bisa menggapainya, tanpamu disini, disisiku.
Ahh, terkadang terfikir olehku sampai kapan memo ini bisa
menghapusmu? Belum satupun orang yang mampu menghapusnya bahkan yang mau
menghapusnya. Apakah akan aku biarkan saja dia tersimpan rapi? Tidak, semua itu
sangat menyakitiku. Tidakkah engkau tahu semua itu.
Menghitung hari detik demi detik perpisahan kita,
perpisahan jiwa dan raga kita untuk selamanya. Itu artinya satu tahun sudah kau
disana menunggu hari berbangkit. Jika dulu Engkau selalu bertanya, apakah yang
sudah ku lakukan hari ini, aku sedang apa, apa yang aku fikirkan? Aku masih
bisa menjawabnya tanpa bertanya balik padamu. Namun jika sekarang fikiran itu
meneror otakku, adakah yang mampu menjawabnya? Bahkan Engkaupun tak mampu
bercuap. Hanya bias kaca-kaca yang menghiasi bola mataku.
Siapakah yang salah? Entahlah, bagimu tetap saja aku yang
salah, aku berubah. Terfikirkan olehku, kenapa waktu itu aku sangat
mempercayaimu? Yang pasti semua ku sandarkan pada Rabbku. Berkali-kali ku
katakan “Jangan pernah Kau bohongi aku!! Jika itu Kau lakukan, percayalah tak
kan pernah sama hati ini padamu.”
Sungguh aku ingin jauh dari masa itu. Tapi hati ini tak
cukup hanya untukmu, keluargamu juga di hatiku. Aku tak kuasa melihat mereka
terluka. Walau aku tak pernah mengenal dekat dengan mereka sebelumnya. Hatiku benar-benar
lemah membencimu.
Ingat aku ketika kau mengeluh masalah hidupmu, lagi-lagi
uang... uang... dan uang. Tak respek sedikitpun dengan itu, bukan karna tak
kasihan, tapi aku bukanlah orang yang kaya dengan harta. Lalu apa yang kau
dapatkan mengeluh kepadaku? Apa aku akan memelas kasihan padamu??? Tidak, hanya
kemarahan yang ku luapkan padamu. Bukan karna ego, tapi karna motivasi untumu.
“Kau bukan siapa-siapa bagiku, aku tak kan berkorban
apapun untukmu terkecuali jika Allah menyentuh hatiku. Pengorabanan untuk orang
tuaku saja masih seujung kuku ku lakukan dan aku tak ingin membaginya untukmu.”
“Sebenarnya aku rindu padamu”
Aku tegaskan, “Tak kan ada hubungannya rindu dengan uang.”
“Ada, aku ingin menelponmu, tapi aku tak punya uang
mengisi pulsa. Ini pake Hp teman.” Ku katakan dalam hati kau terlalu bodoh dan
polos. Kau pikir aku akan simpati dan kasihan dengan pengakuanmu? Tidak, semua
hanya akan menjatuhkan harga dirimu sebagai laki-laki yang pekerja keras. Jika aku
isikan pulsamu, apakah aku percaya padamu pulsa itu hanya digunakan untuk
menghubungiku? Jawabnya tidak, sekali lagi ku katakan kau bodoh.
Sejak itu kau tak berani meminjam uang atau minta
diisikan pulsa kepadaku. Hanya keluhan-keluhanmu meminta aku menelponmu. Apa aku
lakukan? Jawabnya masih sama, tidak.
“Maaf, aku tak bisa menelponmu. Yang sedang merindu bukan
hatiku, tapi hatimu.” Berhenti disitu saja? Tidak...
Selang beberapa waktu kau menelponku, “Hebat, tak ada
uang bisa isi pulsa. Hambur-hamburkan saja uangmu untuk hal yang tak berfaedah
bagimu.”
“Tidak... aku benar-benar tak ada uang. Bahkan untuk
makan saat ini, ku tahan perutku.” Caramu tepat, bena-benar membuatku kasihan
kepadamu mendengar rintihan sakitmu. Kau pikir aku akan menenangkanmu? Tidak
aku berbalik berontak padamu.
“Untuk apa Kau isi pulsa jika perutmu lebih
membutuhkannya. Apakah pulsa itu mampu mengenyangkan perutmu?”
“Tidak... ti-tidak... ini karna rasa rinduku. Laparpun akan
ku tahan asalkan jangan menahan rindu.” Bodoh aku jika aku percaya dengan
gombalmu itu. Aku terdiam dan mengatup bibirku.
“Kenapa terdiam?” Tak kau temui jawabku.
“Maaf, tadi aku hanya bercanda. Aku tahu kau sangat
mengerti jika ada orang yang membohongimu. Pulsa ini bukan pembelianku,
seseorang telah mengisinya untukku.” Seseorang?? Kau berusaha membuatku
cemburu.
“Siapakah seseorang itu?” Sekarang diam yang membungkam
mulutmu.
“Hah, sudahlah jika kau tak mau menjawab.”
“Tak perlulah kau tahu siapa orang itu, yang penting
saatne aku bisa menelponmu.” Aku tak bahagia dengan jawaban itu.
Ku tatap gundukan tanah di hadapanku. Apakah aku ingin
selalu bersamamu? Tidak... itu tak kan ku lakukan. Apakah itu artinya kesetiaan
ini tiada padamu? Tidak sampai saatne masih namamu yang terukir indah di hatiku
juga keluarga yang ingin kau bahagiakan. Bagaimanakah mereka sekarang? Belum ku
ketahui setelah kepergianmu. Karena selama ini aku mengetahui kabar mereka
darimu.
Masih pantaskah kesetiaan ini untukmu setelah kau
khianati? Meski ribuan kata kau jelaskan padaku. Masih pantaskah kesetiaan ini
untukmu? Setelah kau meninggalkanku untuk selama-lamanya. Sampai saat ini aku
hanya ingin tahu kata yang pernah kau ucapkan sebelum aku mengetahui akhirnya
kau berpacaran. “Pacaran bukan berarti harus cinta.”
Apakah cintamu bukan untuk pacarmu itu? Lalu mengapa kau
pacaran dengannya? Lalu siapakah yang kau cintai?? Tidak, tiada guna lagi ku
telaah kata-katamu itu. Tak kan merubah keadaan. Selamanya kita tak akan pernah
bersatu.
Sampai saat ini doaku masih untukmu. Tak tahu apakah esok
masih untukmu? Jika seseorang telah mampu menembus jantung dan hatiku, pada
saat itu juga ku abdikan memoku untuknya dan maaf doaku untukmu kandas sampai
disitu saja.
“Semoga Allah mengampuni dosamu, dosaku juga dosa
keluarga kita. Semoga Kau bahagia disana dan aku bahagia disini.”
Benar-benar aku hanya bisa menatap gundukan di hadapanku.
Sampai saat ini belum mampu menatap gundukanmu. Hanya bisa menatap dari
kejauhan seperti halnya menatap mentari senja ke peraduannya. Antara harapan
yang indah dan kesedihan karena cahaya itu telah redup. Tak mampu menggapai
gundukan itu dan menyentuhnya lembut meskipun hanya dengan air mata. Besar keinginanku
bertamu ke persemayamanmu, tapi itu hanya mimpi dalam tidurku. Tak kan pernah
jadi nyata. Lagi-lagi ibuku selalu berkata, “Apa yang kau cari kesana? Hanya sebongkah
tanah dan nisan belaka.”
Padang-Maransi city, 30 September 2011
(Untukmu sahabat Qalbuku)
Komentar
Posting Komentar