Cerpen

Salahkah Aku Tuhan?
Sunyinya malam meramangkan roma, dinginnya menusuk neuron kulitku membuat otakpun bekerja menelusuri tempat penghangat tubuh. Tak urung ku berpikir selalu saja seperti ini hidup yang ku jalani, terlunta-lunta oleh perut kosong bernyanyi keroncong dan sebagai nomaden yang hidup di zaman modern.
Langkah bak perahu oleng kehilangan arah, terombang-ambing di lautan manusia. Masih untung dapat mengitari bumi ini tanpa henti. Menjalari mentari sampai berdaki. Tiada perih menanti dan tak ada yang merasa ku sakiti. Tapi sampai kapan keberuntungan itu akan berpihak padaku? Entahlah, tak ada yang tahu.
“Jika saja kematian menghampiriku....” pikiran yang selalu membahana menjalari saraf rongga otakku.
Hidup tanpa aturan, mengais rezeki tanpa kenal mati, mengisi perut tanpa kenal maut demi sesuap nasi dan seisap rokok rela berjalan kesana kemari. Hidup seumpama tanpa arti. Bukan aku tak tau diri, persinggahan hati tak jua menghampiri.
“Kapan kau bisa punya bini mencari saja kau malas,” setiap saat ku dicaci maki, membran tympani (gendang telinga) merangkak mengucap nyeri mendengar remehan dari mak tiri yang sudah sepuluh tahun menghampiri hidup ini.
Sepuluh tahun, ini bukan waktu yang sempit untuk mengenal dan saling menyayangi. Tapi tak pernah cukup bagi mak tiriku untuk menganggapku sebagai seorang anak yang mendapat tempat di hatinya. Huh, bukannya menuntut, aku hanya ingin disayangi, dimengerti agar tak ada perbedaan antara aku dan saudara-saudaraku yang lainnya. Padahal kami cuma bertiga.
“Heh, budak! Jangan lupa masukkan sapi! Abak kau tak pulang hari ini. Dia bekerja di desa seberang sana,” panggilan dari adik-adik tiriku. Aku selalu mengalah dan tak pernah marah dicaci maki. Tapi jika ini terjadi tiap hari, siapa pula yang bisa menahan diri.
Pelak dengan perlakuan mereka, ku langkahkan kaki mengarungi dunia ini. Selagi kaki masih kuat melangkah akan aku ikuti kemanapun ia pergi. Asal langit masih biru, tanah masih abu-abu, tak kan ku hiraukan apapun yang menghadangku.
Selagi perut tak mengeak, hatikupun sudah senang. Sulit dapatkan yang halal, yang harampun mungkin akan ku lakukan. Jangan pernah salahkan aku! Mana pernah aku ingn jadi perampok, pencopet atau bahkan jambret. Siapakah yang patut disalahkan?
“Heh... heh... heh... angkat-angkat barang orang sembarangan. Jangan coba-coba ya! Awas jika ada yang rusak atau hilang, kuadukan kau ke kantor polisi,” kata-kata ini tak pelak aku dengar dari isteri-isteri pejabat.
“Biar saya bantu Buk! Belanjaan Ibu kan banyak. Jadi sudilah kiranya Ibu berbagi rezeki dengan saya sebagai jerih payah, sayan mendapatkan upah. Sini Bu biar saya bantu Ibu mengangkat barang-barang Ibu ke mobil.”
“Tidak-tidak... pergi sana! Dasar miskin, sepeserpun tak akan saya berikan kepadamu. Pria macam apa kau ini, tubuh kuat seperti itu, mengemis-ngemis jadi tukang angkat. Ikh tak tahu malu kau.”
“Stop...! cukup Ibu menghina saya,” suasana tiba-tiba tegang. Teriakanku membuat Ibu paruh baya itu terdiam kecut, rasa takut mulai tergambar di bias wajahnya, mukanya pucat padam sembari memeluk semua barang bawaannya dengan tamak. Seperti inilah wajah dunia kita, orang kaya hanya akan memperkaya dirinya sendiri, sedikitpun tak mau berbagi dengan orang lain meskipun dengan buruh angkat. Langkah ibu ini perlahan-lahan mundur ke belakang.
“Hah, percuma saya punya sopir jika untuk mengangkat ini harus saya upahkan juga,” bisiknya membathin menahan ngeri yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu padanya.
Hati kembali tertusuk perih oleh hinaan. Tak di rumah, di dunia luarpun aku dihina sekeji ini. Apa dosaku? Siapa yang harus ku salahkan? Apakah ini dosa Bapak yang tak pernah memperhatikan aku sehingga seenaknya saja aku diperlakukan bahkan seperti binatang. Atau salah Ibu tiriku yang tak pernah memberiku kesempatan mengenyam pendidikan seperti adik-adikku yang lain sehingga aku buta huruf yang siap diperbodohi semua orang berpendidikan karena aku memang bodoh. Atau ini salahmu ibuku yang meninggalkan aku dan membuangku dan ayah seperti sampah dan pergi dengan pria bule itu. Tidak, ini salahmu Tuhan yang tak memberi kesempatan untuk keluargaku merasakan hidup mewah. Kenapa harus kekayaan yang membelenggu hidupku?
“Hei sob. Apa yang kau pikirkan? Kenapa bermuram durja dengan hinaan itu. Seperti itulah yang diinginkan orang kaya terhadap kita. Nah, untuk apa kau ragu melakukannya?” aku tak mengerti dengan kata-kata pria brewokan yang kini mendekatiku.
“Hayo kita lakukan!”
“Maksudmu?” aku semakin tak mengerti. Yang dapat aku tangkap dari gelagatnya, dari tadi pria ini melihat insiden yang menimpaku. Sedikit demi sedikit akupun menangkap sinyal itu.
“Kau akan membantuku?” tanyaku yakin.
“Ya, tak usah kau ragu akan hal itu,” jawabnya tegas.
Terik matahari menyengat kulit, merangsang pori-pori mengeluarkan cairan bening bercampur daki. Sedikit lengang pasar itu kini, ya kini saatnya.
“Copet... Copet... copet...”
Dengan kecepatan penuh aku berlari dan tas itupun aku lempar pada pria brewokan yang menungguku di ujung sana. Tak terpikirkan olehku meraut isi tas tersebut. Yang ada dalam hatiku hanyalah sebuah kebanggaan, bathinku merasa puas akhirnya apa yang mereka inginkan aku lakukan. Padahal awalnya sedikitpun aku tak berniat seperti itu. Aku senang dan melayang, begitu mudah ternyata melakukan apapun yang diinginkan orang kaya itu.
Aku terus berlari dan berlari, meski nafasku tersengal-sengal dan kakiku mulai gontai, tubuhku bermandikan keringat, ototku mulai penat tak ku hiraukan apapun lagi, yang jelas aku bahagia. Kebanggaan bathinku membuatku terlupa melongo ke kiri ataupun ke kanan. Yang ku pikirkan, masihkah mereka mengejarku?
Langkahku mulai berat namun aku masih berusaha berlari secepat mungkin, mataku kabur dan...
Brukkkk...
Akupun terpental dua meter dari tempatku semula dicium truk besar itu. Tubuhku bersimbah darah yang mengalir deras di jalanan itu bak anak sungai. Lautan manusia siap mengkerumuniku tanpa melakukan suatu hal padaku. Semua terpana dan mengutuki apa yang ku lakukan tadi. Aku menjerit kecil, ringkik dan tak berdaya, penglihatanku samar-samar dan tiba-tiba kelam. Apa yang akan terjadi padaku?
Jika saja mereka tahu apa yang terjadi padaku, mungkinkah mereka akan mengutuki ku? Atau mereka sama dengan wanita paruh baya yang tasnya ku larikan dan berikan pada pria brewokan itu. Ya, kemana pria itu? Pria yang menyuruhku menjambret tas wanita paruh baya yang menghinaku. Mengapa dia tak menolongku? Rasa sakit semakin dalam menusukku. Ampuni aku Tuhan dan mataku tertutup.*** Padang, Oktober 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istilah-istilah pada Microsoft office dan pengetikan cepat MS office

BENTUK HIDUP TUMBUHAN

BATANG TUMBUHAN