CERPEN
PENA
CATUR
Ibu, ada yang ingin aku sampaikan. Ku harap ibu tidak
marah padaku!” Catur membujuk.
“Apa itu Tur?” tanya ibu datar.
Dengan nada manja Catur kembali merengek, “Ibu jangan marah ya? Janji!” sembari mendekatkan kelingkingnya ke kelingking
ibu.
“Insya Allah Nak, asal kamu jujur!”
Gurat wajah mencerminkan kelelahan telah bersarang pada
tubuh ibu sehingga rasa takut mengurungkan niat Catur.
“Aku... aku ingin menyampaikan....” Catur memotong kalimatnya.
“Huh anak ibu bikin ibu penasaran saja. Hayo kamu mau
menyampaikan apa?” ibu menarik hidung Catur.
“Yang ingin ku sampaikan
adalah… Ibu sudah makan? Hehe.”
“Ah, kamu Tur mau menyampaikan itu saja harus berbelit-belit.
Suasana maghrib itu terasa sangat sederhana, setelah
sholat berjamaah mereka langsung makan bersama. Nasi secambung kecil dibagi tiga, ditemani tempe sebagai lauknya.
Seperti biasanya, ibu selalu menyiapkan makan malam dan membiarkan kedua
anaknya makan lebih dulu. Setelah anaknya merasa kenyang, ibu menyusul mereka.
Adzan isya menjelang, shalat isya berjamaah pun digelar
yang diimami Catur. Meskipun baru kelas lima sekolah dasar, Catur sudah terbiasa memimpin sholat berjamaah. Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh....
Shalat Isya berjamaah pun usai, dilanjutkan dengan
dzikir. Biasanya setelah dzikir Catur memimpin doa, tapi kali ini tidak. Catur terpana melihat ibunya yang khusyuk menengadahkan
tangan, air matanya mengalir pilu.
“Apa kiranya yang membuat ibu menangis?” bisiknya membathin. “Ya Allah aku lupa lagi, untuk
berhenti makan sebelum kenyang. Padahal
itu selalu yang diingatkan oleh ustadz di surau setiap harinya. Aku dan adik makan terlalu banyak sehingga nasi yang
tersisa untuk ibu sedikit. Mungkinkah ibu masih
lapar?”
“Ibu....” adik merangkul ibu dari belakang.
“Ya Nak,” ibu berbalik badan ke arah adik, kini tatapan
mereka beradu.
“Ibu menangis?”
“Memangnya kelihatan seperti itu?”
“Hehe Eka Cuma nebak-nebak saja, mata ibu merah seperti
habis menangis. Tapi mata merah bukan hanya disebabkan oleh menangis saja, debu
yang masuk ke mata juga menyebabkan mata merah,” jawab adik polos karena sering
melihat iklan Insto di TV rumah pak RT. Catur hanya bisa menatap, tak satu patah katapun yang ingin
diucapkannya.
“Kamu belum tidur Tur?” ibu mendekati Catur
yang sedang melamun.
“Sebentar lagi Bu. Ibu, hmm Ibu lelah ya? Aku pijitin
ya?”
“Makasih Nak! Oh ya bagaimana dengan sekolahmu hari ini
Nak?” kecepatan pijitan Catur berkurang perlahan-lahan, kekuatannya makin lama makin
menghilang. “Ada apa dengan sekolahmu Nak?” ibu kembali bertanya heran. Catur masih saja diam membisu. “Catur, ibu bertanya padamu Nak. Mengapa tak dijawab?”
“Mm-maaf Bu. Aku mau berhenti
sekolah saja.”
“Apa? Kenapa kamu seperti itu Nak?” Catur terdiam
sejenak dan berpikir panjang untuk menemukan alasan yang tepat agar niatnya ini
tidak dihalangi ibu.
“Aku bosan sekolah Bu. Aku capek, aku lelah. Sekolah
hanya membuang waktuku saja,” jawab Catur asal.
“Uang jajan pun tak pernah dikasih, aku malu pada
teman yang bisa membeli apapun yang diinginkannya. Buku-buku, mainan yang
banyak. Aku malu jadi orang miskin Bu. Aku malu… aku malu…”
“Catur, kamu kenapa Nak? Ada masalah di sekolah?
Teman-temanmu mengejekmu lagi?” ibu keheranan
“Bukan Bu, aku merasa ibu tak adil. Adik enak-enakan
bepergian dengan Ibu. Sementara aku dibebani dengan sekolah. Aku capek Bu. Biar
aku cari uang saja agar aku mampu membeli apapun yang aku mau.”
Kini badan yang ringkih oleh rasa lelah terkulai
lemah. Cairan bening mengucur deras dari mata yang layu, keriput yang semakin
berlarut oleh pahitnya hidup.
“Maafkan Ibu Nak! Ibu tak pernah memberikan yang
terbaik untukmu, ibu tak pernah memberikan fasilitas yang cukup untuk hidupmu.
Ibu wanita yang tak berdaya setelah kepergian ayahmu. Ibu menyesal tak pernah
belajar dari hidup. Oleh karena itu Nak, ibu tak ingin kamu putus sekolah, ibu
tak ingin hidupmu seperti ini. Jika kamu sekolah tinggi, mudah-mudahan hidupmu
kelak lebih enak.”
“Ibu, maafkan Catur!” Catur menggenggam tangan ibu
dan mencium punggungnya. Catur menyesal atas perkataannya. Namun yang namanya
laki-laki tak boleh merubah keputusan, prinsip Catur.
“Nak, segala keputusan ada ditanganmu. Satu hal
pesan ibu, jangan pernah menyesal dengan keputusanmu! Kamu harus berjanji pada
ibu, jika dalam satu hari saja kamu tak sanggup hidup di alam bebas, kembalilah
pada ibu dan lanjutkan sekolahmu!”
Malam berangsur-angsur naik, dinginnya menembus
kulit. Perempuan tua yang ringkih ini belum juga tertidur, penyesalannya
membathin. Matanya sembab, hati nya terkoyak. Anak yang dibesarkannya selama
sepuluh tahun, baru kali ini dia membangkang. Entah apa penyebabnya.
***
Usai sholat shubuh Catur berpamitan pada ibu, kali
ini bukan menuju sekolah tapi mencari uang seperti keinginannya. “Semoga aku
bisa mendapatkan uang seperti keinginanku, semua ini ku lakukan untukmu ibu
agar ibu tak capek-capek lagi bekerja untukku,” bisiknya membathin.
Matahari sepenggalah naik, kemudian berangsur-angsur
menggantung di langit biru. Peluh kini membanjiri tubuh Catur, tapi tak satupun
koran yang dijajakannya dibeli orang. Padahal sudah berjalan sedemikian jauh,
bahkan setiap orang yang lewat ditawarinya.
“Huh, ternyata mencari uang itu sulit,” keluhnya
sambil mengusap peluhnya yang bercucuran di dahi sembari menuju tempat
beristirahat. Kali ini Catur memutuskan beristirahat di pelataran sebuah mall
besar di kota tersebut. Rasa lelah membuatnya mengantuk dan kemudian
melayang ke alam tidur. Zzzzz….
“Ibu…” rintihnya berbisik. Kesedihan ibu membias
pikirannya sehingga Caturpun terbangun dari tidurnya. Mulutnya menganga,
matanya pun melotot kesana dan kemari namun dia masih seperti orang yang kebingungan.
Badannya terkulai lesu saat apa yang dicari tak ditemukan di sekitarnya. “Mana
koran-koranku?” Catur merengek. Catur kebingungan dengan apa dia harus
mengganti koran-koran itu karena koran yang dijajakannya tersebut diperolehnya
karena rasa kasihan seorang kios koran yang mempercayainya.
Catur mondar-mandir di pelataran mall
tersebut, “Pak, lihat koran yang di tangan saya tadi Pak? Saya tadi
beristirahat disana, tak sengaja saya tertidur dan tiba-tiba saja koran yang di
tangan saya sudah tidak ada,” tanya Catur kepada satpam yang sedang bertugas
siang itu. Satpam itu hanya menggeleng.
Karena merasa tidak puas dengan jawaban satpam itu
Catur bertanya kepada setiap orang yang lewat di pelataran mall
tersebut. Jawaban yang sama didapatinya berkali-kali, kini dia lelah bertanya.
Dia termenung berurai air mata.
“Kamu kenapa Nak? Seorang bapak-bapak mengelus
kepala Catur lembut. Caturpun kembali bersemangat berharap bapak yang
menyentuhnya ini menemukan koran yang hilang ditangannya.
“Bapak melihat koran yang tadi saya bawa? Tak
sengaja saya tadi tertidur disini dan di tangan saya ada setumpuk koran, tapi… setelah
saya terbangun, koran-koran tersebut hilang. Padahal saya dapat kepercayaan
untuk menjualnya. Dan sekarang… hiks…,” Caturpun mulai menangis.
“Kira-kira harganya berapa? Mungkin bapak bisa
bantu,” sambil mengeluarkan dompet dari sakunya.
“Maaf Pak, saya bukan pengemis. Saya tak bisa
menerima pemberian orang lain dengan cuma-cuma karena bukan hak saya. Ibu
melarang saya menerima pemberian orang lain tanpa jeripayah kita.”
“Tapi sekarang ibumu kan tak melihat. Tak apa-apa
terima saja,” bapak tadi berusaha menggoda Catur.
“Tapi Allah lihat Pak!”
“Subhanallah ternyata kamu anak yang pintar dan
jujur, patuh pada nasehat orang tua lagi. Nah kalau begitu kamu bantu bapak
saja. Nanti imbalannya bapak beri kamu uang untuk mengganti koran-koranmu yang
hilang. Bagaimana?” Caturpun mengangguk.
Dengan cekatan Catur mengangkat barang-barang bawaan
bapak tadi ke dalam mobilnya dan kini bapak itu menepati janjinya. “Ini sudah
jadi hakmu karna bapak sudah menggunakan tenagamu untuk membantu bapak. Ini
ambil uangnya!”
“Tapi Pak kata ibu membantu orang lain itu tak boleh
pamrih, harus ikhlas. Maaf Pak saya tak bisa menerima uang ini! Saya ikhlas
membantu Bapak,” penolakan masih saja dilakukan Catur.
“Tapi kamu lupa, kata ibu kita harus menepati janji
jika kita telah berjanji. Dan tadi bapak berjanji akan memberimu uang untuk
mengganti koran-koranmu yang hilang. Hmmm…” bapak ini tersenyum melihat sifat
Catur yang polos.
“Ini terlalu banyak Pak.”
“Anggap saja ini hadiah untukmu. Kalau bapak boleh menebak,
kamu pasti sekolahkan?”
“Tebakan Bapak salah, sekarang saya tak sekolah.”
“Hehe bisa saja kamu Nak. Ya jelas dung sekarang
kamu tak sekolah. Sekarang kamu kan berada di depan bapak. Bukan berada di
sekolahan,” bapak tadi kembali mengusap kepala Catur.
“Beneran Pak. Mulai dari hari ini saya tak
bersekolah karena…” Catur memutus kata-katanya namun matanya menatap tajam ke
saku baju bapak itu. Melihat benda yang tergantung indah di saku bajunya membuat
Catur mengenang kejadian di sekolah kemarin.
“Karena apa Nak? Owh kamu menyukai pena ini? Ini
ambil!”
“Tapi Pak…”
“Tapi apa lagi Nak? Ini hadiah kedua dari bapak
untukmu, dengan syarat kamu harus lanjutkan sekolahmu! Mau?”
“Mau Pak,” jawab Catur lugas. Kini pena bertuliskan
‘Singapore’ itu berada di tangan Catur. Baru kali ini dia melihat pena sebagus
itu. Bahkan lebih bagus dari pena teman-teman sekelasnya yang turunan
konglomerat. Catur menimbang-nimbang pena yang kini ditangannya dan menaksir
harganya.
“Harganya pasti mahal, warnanya saja mengkilat-kilat
seperti emas. Apalagi Singapore itu negara yang berada di luar Indonesia.
Teman-teman pasti iri dengan penaku ini dan bu guru akan sedikit menghargaiku
karena sekarang aku punya pena yang lebih mahal dari anak-anak lainnya termasuk
pena milik bu guru,” Catur ngoceh sendiri.
“Nak, jika kamu menginginkan pena seperti ini lebih
banyak, bercita-citalah setinggi langit dan capailah cita-citamu itu! Kelak
kamu akan memilikinya bahkan yang lebih bagus dan lebih canggih dari pena ini.
Bukan itu saja, kamu juga bisa membagi-bagikannya kepada anak-anak yang
membutuhkan. Jadi sekarang pikirkan untuk melanjutkan sekolahmu ya!”
“Iya Pak. Insya Allah, terima kasih Pak!”
***
Catur berjalan dengan riangnya, melenggok-lenggokan
kaki sambil menggerak-gerakan tangannya yang sedang menggenggam pena tersebut
ke kiri dan kanan. Catur sudah tak sabar ingin berbagi cerita denga ibunya.
“Ibu… Ibu… lihat apa yang aku bawa ini!” teriak
Catur girang.
Ibu keluar dari dapur dengan tergopoh-gopoh. Melihat
empat lembar uang lima puluh ribu di tangan Catur, tubuh ibu lunglai, air
matanya mengalir deras. Anak yang ditantangnya semalam ternyata dapat memenuhi
persyaratannya untuk tak bersekolah lagi. Lulus dari persyaratan artinya Catur
tidak akan melanjutkan sekolah lagi. Musnah sudah janji ibu kepada ayah Catur
untuk menyekolahkan Catur sampai tamat.
“Ibu kenapa menangis? Seharusnya Ibu bahagia karena
hari ini kita bisa makan enak. Ibu silahkan beli bahan makanan yang Ibu suka
kemudian kita memasaknya,” ibupun mengangguk haru.
Ada hal yang mengganjal di mata ibu dan ibu pun
mulai garang. “Tur, dari mana kamu dapatkan semua ini? Kamu mencurinya?”
“Ti-tidak Bu.”
“Lalu dari mana kamu mendapatkan pena itu? Itu bukan
pena murahan yang bisa dimiliki oleh siapa saja. Pena itu hanya orang tertentu
saja yang punya,” ibupun mulai memukuli Catur tanpa ampun.
“Ampun Bu. Ampun… Catur tak mencurinya Bu. Dengarkan
Catur dulu Bu!” ibu tak mendengarkan sedikitpun penjelasan Catur. Tangan ibu
yang dialasi sapu lidi makin gesit bergerak dan memukuli Catur.
“Ngaku nggak kamu? Ngaku! Dimana kamu mencurinya?
Apa pernah ibu mengajarkanmu mencuri? Jangan buat malu wanita tua yang
membesarkanmu ini. Jangan buat malu ibu. Kita boleh hidup miskin tapi jangan
mencuri untuk mencukupi hidup. Kita masih punya Tuhan dan tenaga untuk
bekerja.”
“Sakit Bu… sakit… sudah Bu hentikan Bu aku kesakitan
Bu!” Catur menangis sejadi-jadinya. Semakin kencang tangisan Catur semakin
keras pukulan ibu kepada tangan dan kaki Catur.
Rasa lelah kini bersarang ditangan ibu. Ibupun
menghentikan pukulannya. Penyesalan kini mengisi ruang hati ibu. Melihat tanda
merah dan biru bekas pukulannya, membuat ibu merasa iba. Catur menangis
tersedu-sedu sampai akhirnya Catur tertidur pulas di lantai tempat dia dipukuli
ibu.
Ibu berusaha mengelus tangan dan kaki Catur. Sedikit
saja tersentuh, Catur merintih kesakitan. Meskipun dalam tidur, Catur dapat
merasakan sakitnya sentuhan ibu. Hati ibu semakin teriris, penyesalan tak kan
merubah apa-apa.
“Saya akan melanjutkan sekolah saya Pak. Pena ini
akan saya jaga sebaik mungkin seperti saya menjaga ibu dan adik. Saya pasti
bisa memiliki banyak pena seperti ini jika saya sungguh-sungguh bersekolah dan
saya akan membagikannya kepada anak-anak yang membutuhkannya seperti yang bapak
lakukan kepada saya Pak,” Catur mengigau panjang lebar dalam tidurnya. Ibu
mendengarnya dan cairan bening itupun tiada hentinya membanjiri pipi ibu.
“Maafkan ibu Nak! Ibu tak pernah mendengarkan
suaramu, ibu tak pernah mengerti apa yang kamu inginkan. Ibu selalu memaksamu
dalam kehendak dan keinginan ibu. Ibu tak pernah mendengarkan jeritan hatimu,”
perlahan-lahan ibu mengolesi tangan dan kaki Catur dengan obat yang dibuat ibu.
Sehingga rintihan sakit Catur tak terdengar lagi karena kini tangan dan kakinya
merasakan kehangatan sentuhan obat yang diberikan ibu.
***
“Ibu, adzan shubuh sudah berkumandang. Bangun Bu!”
ibu hanya mendeham pertanda ibu sudah terbangun.
“Ibu masih marah pada Catur?”
“Tidak Nak,” ibu merangkul Catur erat. “Maafkan Ibu
Nak!”
“Ibu, harusnya Catur yang meminta maaf karena selalu
membuat ibu marah.”
“Harusnya Ibu mendengarkan penjelasanmu,” ibu
mencium pipi anaknya.
Suasana shubuh itu khidmad, penuh haru dan rasa
saling memaafkan. Usai sholat shubuh Catur menceritakan asal muasal pena dan
uang yang dibawanya pulang. Ibu mendengarnya dengan rasa bangga karena anaknya
adalah anak yang memang patut untuk dibanggakan.
“Ibu, aku tak kuat besar di jalanan. Aku ingin
kembali ke pangkuan ibu dan aku ingin sekolah lagi agar aku bisa mendapatkan
lebih banyak lagi pena seperti ini. Sehingga nantinya aku bisa membagikannya
kepada anak-anak yang membutuhkannya.”
“Iya Nak, ibu menerimamu kembali dengan senang hati.
Jika kamu yakin, semua pasti bisa kamu capai. Allah itu maha pemurah Nak!”
“Iya Bu,” Catur dan ibunya kembali berangkulan
seperti anak dan ibu yang baru bertemu melepas kerinduannya.
***
Hari ini Catur kembali masuk sekolah, hatinya
gembira bukan kepalang karena pena baru yang didapatkannya dari seorang pria
dermawan yang ditemuinya di depan mall besar di kota itu. Pena itu jadi
kebanggaannya kini karena Catur beranggapan dengan pena mahal itu Catur merasa
lebih dihargai dari biasanya. Kali ini ibu ikut mengantarkan Catur ke
sekolahnya karena ibu ingin mengetahui penyebab pasti kenapa Catur memutuskan
untuk tak bersekolah lagi.
Kebahagiaan Catur terpancar dari cara bicaranya saat
bertemu dengan gurunya. “Bu, hari ini saya membawa pena. Pena saya ini pena
yang paling bagus dari pena yang selama ini pernah saya lihat. Bahkan lebih
bagus dari pena teman-teman dan pena ibu. Ibu tak bisa menghina saya lagi
karena saya memiliki pena yang tak dimiliki oleh orang lain di sekolah ini. Ini
pena kebanggaan saya dan karena pena inilah saya akan lebih dihargai di sekolah
ini.”
“Hush Catur! Menegur guru itu yang sopan! Baca salam
dulu dan saliman sama ibu gurunya!”
“Hehe… anak-anak pada umumnya memang begitu Bu.
Banyak yang kurang sopan kepada yang lebih tua darinya,” sahut guru Catur
cengengesan.
“Dan satu hal lagi Bu, saya pasti bisa memiliki
banyak pena seperti ini dan saya akan membagi-bagikannya kepada anak-anak yang
membutuhkan. Dan jika Bu butuh, akan saya pertimbangkan untuk memberi ibu atau
tidak. Jika berlebih akan saya beri tapi jika tidak, Ibu jangan menangis karena
tidak kebagian,” Catur berlalu dari ibu dan gurunya.
“Huh, songong lu. Miskin ja blagu,” bisik
guru Catur
“Maaf Bu, tapi saya lebih mengerti karakter anak
saya. Catur tak akan mungkin begini jika tanpa sebab.”
“Hoh, hehe… oh iya ibu ada kabar apa datang ke
sekolah? Ada yang bisa saya bantu?” guru Catur mulai salah tingkah dan berusaha
mengalihkan pembicaraan.
“Awalnya saya kesini mau menanyakan penyebab anak
saya tak mau bersekolah lagi. Tapi sepertinya saya sudah mendapatkan
jawabannya. Maaf ya Bu kami memang orang miskin, tapi tolong jangan menghina
kami seenaknya terutama Catur. Dia masih anak-anak Bu, belum mengerti apa-apa
tentang hidup.”
“Ma-maaf Bu, saya menyesal. Saya mengaku salah,
kemarin saya sangat emosi,” guru Catur berusaha mengingat-ingat kesalahannya
kemarin. Mukanya memerah karena merasa dipermalukan oleh Catur. Sedikit rasa
sadar merayap pada guru Catur, ya beginilah rasanya dipermalukan.
“Untuk apa kamu ke sekolah tak membawa pena? Tak
mampu membelinya? Makanya jangan sok kaya, makan saja sudah untung. Neh blagu
sekolah di sekolahan elit kaya begini. Berapalah harga satu pena? Dasar miskin
pena saja tak mampu beli. Sekarang kamu keluar!”
“Tapi Bu…”
“Keluar!” teriak bu guru tanpa menghiraukan
perkataan Catur.
“Oh Tuhan, sungguh besar kesalahan yang telah ku
lakukan kepada Catur. Semoga semua ini masih bisa diperbaiki. Semoga Catur tak
mendendam padaku,” bisik hati bu guru.
Kata dapat mengagungkan dan meninggikan derajat
seseorang, kata dapat menjatuhkan seseorang bahkan sejatuh-jatuhnya. Kata dapat
membuat orang sehina-hinanya. Kata dapat menghancurkan kreativitas anak dan
kata jugalah yang mampu memotivasi anak untuk mengejar cita-citanya. Oleh
karena itu berpandai-pandailah merangkai kata agar setiap kata yang kita
keluarkan selalu bermanfaat untuk diri kita, untuk orang lain dan orang banyak.
hmmm...jangan sampai deh aku jd guru kyk gtu kak,,, smoga bsa jd teladan bgi siswa.. amin..
BalasHapusAmiin adikku,,, semoga kita jadi guru yg dapat membangun kreatifitas anak dan teladan bagi anak. Hidup Guru!!!! he ^_^
Hapusmanteep
BalasHapusUstadznya Aldi ternyata,,,
HapusTerimakasih...!!!!
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus