CERPEN
SELIMUT LELAH
By: Khaira Al-Rasyid (Resi Susanti)
Apa kabarmu Mentari? Seharian ini aku tak melihat batang
hidungmu. Aku tahu kau ceria seperti biasanya, tak seperti aku yang sedu-sedan
di ruang mungil ini. Mungkinkah esok aku masih bisa menatapmu?
Rinai batas kota tak membuatmu surut, awan hitam tak pernah
membuat nyalimu ciut. Tapi kali ini aku benar-benar rapuh dan dahiku mulai
mengerut. Tulang belulangku lunglai nutrisinya menyusut. Akan sama halnya denganmu mentari, tanpa langit kau
takkan mampu menggantung dan ceria seperti sedia kala.
“Tugas terus... itu saja alasanmu setiap disuruh. Kuliah
macam apa itu, sedikitpun tak ada waktu bantu orang tua. Banyak orang yang
kuliah, tapi tak seperti ini.”
“Ibu, tolong mengertilah! Beberapa minggu ini tugasku banyak, istirahatku saja kurang, kepalaku sakit.”
“Halah alasan saja.”
Rinai bola mataku ku tarik ulur. Mungkin ini hanya emosi
sesaat. Pasalnya aku tahu akhir-akhir ini ibu sangat lelah. Namun aku tak kuasa menahan letih ini.
Hanya waktu yang mengerti betapa letihnya ragaku. Pulang kuliah harus mengajar,
mencari kebutuhan kuliah. Tak sedikitpun niat hati merepotkan orang tua demi
pencapaian sebuah cita-cita, meski cita-cita ini ku persembahkan untuknya.
Meski terasa berat, ku jalani waktu dengan semangat.
Air mata ini bukan hambatan untukku menatap hari, masih kuat aku membendungnya.
Kuliah lancar, pekerjaanku kelar namun tak sedikitpun ada waktu untuk ibu.
***
Malam sunyi menemaniku setiap hari, menggoyang-goyangkan
jari membentuk baris demi baris tiap lembaran kertas putih. Sedang apa aku? Aku
menulis, bukan menulis bait-bait puisi, atau curhat di sebuah diary,
bukan pula membuat target yang ingin dicapai setiap hari. Lalu apa? Aku menulis
laporan praktikum yang setiap minggu serasa membunuh diri.
“Haha, kasihan kamu! Aku akan terus mengganggu tidurmu,
matamu takkan terpejam sedikitpun sebelum kau selesaikan aku,” laporan itu seolah tertawa dan bahagia melihat
penderitaanku.
Zzzz….
Aku mengantuk, Hoam… wajah beberapa
orang wanita terbias dalam ingatanku.
“Kenapa kamu tak membuat laporan? Berkali-kali saya
peringatkan bagi praktikan yang tidak membuat laporan silahkan keluar!”
“Tapi Kak…”
“Tidak kata tapi, keluar!” bentakan itu semakin
histeris.
“Tidaaakkk…” mataku kembali terbuka lebar, rasa
kantuk melayang ketika membayangkan wajah asisten praktikum yang sangar, yang
tidak sedikitpun menerima alasan. “Huh, jadi berpikir apakah asisten ini
dulunya tak merasakan hal yang sama? Syukur jika mereka hanya menengadahkan
tangan kepada orang tua sehingga hanya kuliah yang ada dalam pikirannya.
Sementara aku? Aku harus berjuang untuk mengumpulkan uang untuk kuliah. Kenapa
tak ada toleransi untuk mahasiswa-mahasiswa yang bekerja sambil kuliah? Yang
membuat hatiku geram ketika praktikan cowok yang tak buat laporan, sang asisten
bicara dengan ramah. “Ada
apa ini? Kenapa kamu tak membuat laporan?”
“Tahukah
kamu dialah yang akan mengantarkanmu pada cita-cita yang kamu impikan,” hatiku berbisik lirih.
Semangat kembali mengisi otot tanganku untuk kembali menulis menyelesaikan
laporan praktikum ini.
Mungkinkah ini cinta duniawi? Malam yang biasa digunakan
untuk bertahajjud dan bermunajah kepada-Nya ku ganti dengan pencapaian sukses
duniawi. Apa hendak dikata tidur pun aku belum merasai, bagaimana mungkin ku
laksanakan tahajjud malam ini.
Tubuh terasa nyeri seperti ditarik-tarik, mata perih
menatap hari, kepalaku berguncang hebat karena penyiksaan diri, ventrikulus (lambung) meraung meminta
nasi.
“Sabar tubuhku! Ini baru permulaan, tidakkah engkau ingin
melihatku sukses nanti? Bukan aku tak sayang, tapi aku sedikit lebih menyayangi
impian ke depan nanti, membahagiakan orang-orang yang ku kasihi.”
***
“Alhamdulillahilladzi
ahyana ba’dama ama thana wa ilaihinnusyur....”
Tahukah engkau wahai hidup apa yang membuat sangat bahagia
hati ini? Terbangun setelah tidur di malam hari. Itu
artinya Sang Qudrat masih memberi kesempatan diri merubah hari kemarin.
“Bangun Nak! Bantu Ibu ke ladang!”
“Maaf Bu, tugas-tugasku belum selesai. Aku tak bisa
membantu ibu hari ini.”
“Tugas lagi... tugas lagi... Apa benar kuliahmu itu,
terlalu bangganya kamu.”
“Ibu mohon mengertilah!”
“Anak macam apa kamu ini, baru juga sebesar ini sudah tak
mau bantu orang tua.”
Oh Tuhan kata-kata apa yang aku terima karna kelemahan
ini. Apa aku anak durhaka jika seperti ini? “Sabar
hatiku, ini hanya sebuah luapan emosi sekejap. Biasanya ibu tak pernah seperti
ini. Aku kuat, aku takkan menangis dengan kata-kata itu. Bukankah semua ini ku
persembahkan untuknya?”
Rinai yang seminggu ini ku bendung menjadi anak sungai
membanjiri pipiku. Rasanya tak mampu ku tahan lagi. Kenapa orang yang paling ku cintai mampu berkata seperti
itu? Beban
terasa berat,
motivasi yang mampu menyokong tubuh untuk berdiri kokoh telah menusuk. Hari ini
tak satupun yang ku lakukan, hujan di mataku membuat lemah syaraf-syaraf
ini, membuat kepala berkontraksi hebat. Hanya jendela kamar
yang ku singkap menatap awan putih yang berkelabat.
Malam kembali menyapa, dibalik tirai jendela aku
masih meratap. Muhassabah diri dan merasa terluka. Aku tahu ini sebuah dosa,
tapi hanya pengertian yang ku pinta. Biarkan aku bebas bu! Bebas dengan cintamu
yang mengikat. Aku ingin merubah hidup kita. Aku ingin mencapai cita-cita.
Biarkan aku sibuk untuk mencapainya! Setelah itu kita akan bahagia.
Ketika waktu terasa menghimpit, beban terasa sakit, lelah
menjalar di setiap dendrit, malamlah obat yang paling menenangkan. Malam
membuat kita nyaman dan tenang waktu mengadu pada Tuhan. Semoga setiap malam
yang datang dapat ku manfaatkan dengan baik karna belum tentu esok bertemu
dengannya. Dia mampu menjadi penawar lelah dari aktifitas dunia,
memberi kehangatan hidup. Ya, malamlah sebagai selimut lelah, yang dapat membuat kita
nyaman dan kembali kuat.
***
“Nak, bangun Nak! Apa kali ini kamu masih tak mau
membantu ibu?” tak satu jawaban yang terdengar. Ibu segera membuka pintu. “Hmmm
lama sekali sujudmu seperti orang paling taat saja. Padahal bantu ibu pun
jarang,” ibu berceloteh tanpa henti ketika mendapatiku bersujud di atas sajadah
panjang di salah satu sudut kamarku..
“Ini anak sudah mati apa masih hidup? Sujud selama
itu,” perlahan ibu menghampiri, mengamati tiada henti, firasat was-was mulai
menggrogoti.
“Masya Allah
Nak, bangun Nak! Bangun!” ibu mulai
menggoyang-goyangkan tubuhku lembut. Sujudku berakhir sudah tersungkur di atas sajadah panjang.
Tubuhku terkulai lesu di atas pangkuan tangan ibu. “Anakku… tidak!! Anakku
bangun Nak! Bangun!”
Kamar yang tersusun rapi membuat mata mengalihkan
pandangan pada sudut ruang. Satu kuntum
bunga terbungkus indah di atas meja belajar
sudut ruang mungil ini. Ibu menghampiri
bunga itu dan membaca sebuah kartu berwarna biru. Warna biru melambangkan ibuku
adalah langitku dan aku ingin slalu menjadi mentari yang slalu menerangi bumi.
Tanpa langitku, aku takkan mampu berdiri dan menggantung menyinari bumi.
Selamat
ulang
tahun ibu,
Lihatlah
bunga yang indah ini Bu! Aku selalu menganggap bunga ini adalah Engkau karna
sekuntum bunga ini mampu menyejukkan hatiku seperti dirimu, kekuatanku ada
dalam setiap ketulusanmu. Semoga setelah ibu menemukan bunga ini dan membaca
tulisanku, ibu merasa bahagia karna aku selalu mengingatmu di hatiku. Maafkan
aku ibu yang sering lalai dalam melaksanakan perintahmu! Ketahuilah ibu semua
yang ku lakukan, untuk ku persembahkan padamu.
Bu, aku bermimpi
aku bisa jadi seorang dokter suatu
saat nanti, aku punya rumah sakit dan mampu mengobati orang-orang yang kesulitan
ekonomi seperti hidup kita saat ini. Percayalah ibu, semua akan indah pada
waktunya.
Semua kerja kerasku untuk seorang wanita yang sabar mendidikku hingga aku mampu
bernafas sampai saat ini. Wanita itu adalah Engkau Bu..
Selamat hari
lahir Bu! Hanya ini yang mampu ku persembahkan untuk ibu. Maafkanlah anakmu
yang nakal ini, yang belum mampu memberikan kebanggaan dan kebahagiaan yang
berarti untukmu!
Dari
Anakmu yang selalu menyayangimu...
Air mata berurai membasahi wajah ibu, tetesannya
menitik membasahi kartu berwarna biru, tangisan
yang bergetar kian kencang mengisi rumahku. Semua anggota keluarga terbangun,
tetangga-tetanggapun berdatangan menuju rumahku yang kecil dan sederhana. Semua
menatap pilu dan terharu melihat senyum terakhir yang tersembul dari bibirku.
“Tuhaaaaan, aku tak ingin kehilangan anakku. Semua yang ku lakukan
ini juga untuknya. Ampuni aku Tuhaaaan, ucapanku ternyata menyiksa batinnya. Beri aku
kesempatan untuk menyatakan aku sayang padanya, semua yang ku lakukan juga
untuknya,” teriak ibu histeris.
“Sudahlah Buk, tak ada gunanya diratapi! Kasihan anak
Ibuk, biarkan dia pergi dengan tenang!
Sabar Buk! Yang bisa dilakukan saat ini hanya mendoakannya agar perjalanannya
dimudahkan untuk menghadap-Nya” semua orang
yang berdatangan membujuk ibu dengan rasa iba. Abangku memeluk ibu dan
menenangkannya.
“Nak, adikmu sudah tak ada lagi Nak! Tak ada lagi anak gadis ibu yang kelak
akan merawat ibu tua nanti. Dia sudah pergi Nak!
Dia meninggalkan Ibu untuk selamanya. Ibu menyayanginya, tapi ibu selalu
membuat hatinya terluka. Ibu mau minta maaf padanya Nak! Ibu salah, ibu telah
membunuhnya dengan perlahan-lahan.”
“Ssssttt… tenang Ibu! Ikhlaskan adik pergi! Jika kita ikhlas, diapun
akan tenang. Kita hanya bisa mendoakan agar Allah menempatkannya di tempat yang
mulia disisi-Nya, yaitu syurga-Nya yang indah. Semoga kita dipertemukan disana.
Sabar Bu!”
Ibu mulai sedikit tenang melepas kepergianku di
batas batu abadi itu. Proses menjelang pemakaman sudah dipersiapkan. Meskipun
ibu masih menangis tapi ibu tak sehisteris shubuh tadi.
Mawar merah melambai-lambai di atas gundukan itu.
Doa-doa menghantarku menghadap-Nya. Wajah pilu dan lesu telah beringsut cerah
dan tenang. Satu per satu mereka kembali pulang, kecuali ibu yang masih terpaku
disamping gundukanku.
Penyesalan
takkan pernah bisa merubah apapun. Anak yang menyayangi ibunya telah pergi.
Wahai Ibu, syukurilah slalu anak yang dititipkan Allah padamu, beri dia
motivasi dan dukungan agar dia sukses, besarkan dia dengan ikhlas dan kasih
sayang, dengan hal itu engkau telah mampu membuatnya hidup untukmu, untukmu
ibu...
Ketika apapun yang kita kerjakan dengan ikhlas,
pastinya kita tak kan pernah kecewa mendapati hal yang kita inginkan tak sesuai
dengan kenyataan. Jadi para calon Ibu besarkanlah anakmu dengan ikhlas! Jangan
berharap besar dia harus benar-benar membantumu setiap waktu tapi didiklah dia
dengan rasa tanggung jawab. Karena dengan hal itu dia akan mengerti tanggung
jawabnya adalah merawatmu Ibu.****Maransi-Padang, 2011
Komentar
Posting Komentar