Catatan Harianku


CITA-CITAKU
Masih teringat jelas ketika masih kecil dulu, cita-citaku begitu kecil dan begitu tak berharga di mata orang lain. Semua tersenyum mengejek atas apa yang aku inginkan. Ejekan tersebut bukanlah suatu hal yang menyatakan aku takkan mungkin mendapatkannya tapi karena gajinya yang rendah dan tidak bergengsi. Apakah cita-citaku di kala itu?? Mari kita ulas dari mula keinginanku untuk mencapainya.
Waktu berumur lima tahun lebih, semua saudara-saudaraku diserahkan mengaji oleh mama. Di kala itu tempat mengaji masih lah di rumah penduduk. Ya tetanggaku membuka pintu rumahnya dengan senang hati untuk menerima anak-anak yang belajar mengaji dengan konsekuensi bayaran perbulannya telah ditetapkan, per bulannya hanya Rp. 250. Disini metode belajar mengaji masih menggunakan yang namanya surat alif. Kita terlebih dulu dikenalkan dengan huruf-huruf hijaiyah tanpa baris. Setelah itu baru lanjut dengan huruf hijaiyah dengan baris. Sungguh metode yang monoton. Masih saja banyak anak-anak yang mengulang kajinya berkali-kali sehingga terasa sangat membosankan.
Meski jenuh yang terasa, tapi tak satupun diantara kami yang berbuat kegaduhan, layaknya anak-anak sekarang yang mendapatkan judges “nakal.” Kami masih mengikuti pembelajaran dengan baik, ada juga beberapa anak yang sering bolos. Tapi dikeluargaku, mama masih selalu saja menasehati, “Nak, mulailah dari sekarang belajar agama! Jika kelak mama sudah tak ada di dunia ini siapa yang akan mengurus jenazah mama? Padahal itu kewajiban anak-anaknya.” Kami menuruti kata-kata mama.
Aku dan saudara-saudaraku tetap datang untuk menuntut ilmu mengaji. Kami masuk setelah maghrib, ibu ini agak pemarah kalau ada anak-anak yang mengganggu teman-teman yang sedang belajar, rotanpun melayang. Sementara aku masih dianggap anak bawang karena waktu itu umurku masih kecil, belum dipaksa untuk cepat bisa baca al-qur’an, sekolahpun belum dan membaca latinpun belum bisa. Setiap harinya di ruangan tersebut aku mengantuk, mata ini tak bersahabat selalu. Bisa jadi ini disebabkan kejenuhan dan rasa lelah karena banyak bermain. Dan posisi kepalaku terkadang merungkuk, miring dan hampir saja lunglai ke lantai. Karena kami banyak, otomatis tidak semua yang bisa diperhatikan oleh ibu itu.
Terkadang aku sadar, aku sudah melayang ke alam mimpi dan terbangun karena mendengar suara ibu itu menggelegar. Herannya aku tak pernah dimarahi yang kerap tertidur sambil duduk. Ibu itu hanya bertanya, “Nak, kamu kenapa? Ngantuk?” dengan sigap aku jawab, “Sekarang nggak lagi bu.” Semua teman-teman sontak berkicau, “Slalu tuh buk ketiduran.” Ibu itu menjawab tersenyum, “Nggak apa-apa, ini anak pintar dan baik. Lagipula keinginannya sangat tinggi untuk belajar. Diantara kalian yang banyak ini, dialah yang paling kecil. Sekolah saja belum tapi sudah ingin pandai mengaji.”
Ya waktu itu umurku sangat kecil, hatiku tergerak belajar mengaji karena nasehat mama dan karena di rumah tak ada saudara-saudaraku, mereka semuanya berangkat mengaji sehingga rumah terasa sepi. Jadi aku diizinkan ikut dengan syarat tak boleh nakal dan buat kegaduhan dan bahagianya juga mamaku dengan senang hati mengeluarkan biaya bulanannya meskipun keliatannya karena aku kecil pasti ilmu yang ku dapat belum seberapa dibandingkan uang yang dikeluarkan mama.
Waktu itu keluargaku masih belum apa-apa, untuk makan saja sulit karena ibuku yang banting tulang sendiri. Yang jadi pertanyaan, “Papaku kemana?” ya dari kecil kami ditinggalkannya karena peliknya dengan segala kekurangan sehingga beliau berpaling ke wanita lain. Tapi tak menyurutkan tekad mama untuk membesarkan anak-anaknya. Setiap hari mama berangkat bekerja setelah shubuh dan pulangnya sampai maghriban. Beliau bekerja di sebuah pabrik roti dan terkadang aku dibawa kesana untuk bantu-bantu. Pasti teman-teman berpikir, “Halah bisa bantu apa umur segitu? Paling juga bantu makan dan menghabiskan rotinya.” Tapi pemikiran seperti itu salah.
Sebelum berangkat mama sudah wanti-wanti, “Disana kamu gak boleh nakal dan merengek-rengek minta roti! Jika kamu mau bantu, ya dibantu tapi jika kamu bermain dengan anak-anak disana juga tak apa. Yang penting kamu tak boleh mengganggu mama bekerja! OK?”
Akupun mengangguk meyakinkan mama. Dan itupun ku lakukan bukan hanya alasan agar dapat ikut, tapi benar-benar aku jalankan. Ketika hatiku mau membantu, akupun membantu mama memasukkan roti-roti itu ke dalam bungkusnya. Ketika aku lelah, akupun bermain dengan anak bosnya mama, mereka orang china yang pakaian dan gayanya modis namun mereka tidak sombong. Mereka mau bermain denganku dan mengeluarkan mainan-mainannya. Setelah jam kerja mama usai, ketika akan pulang bos mama yang China itu membungkuskan beberapa roti untukku dengan berkata, “Ini bingkisan untuk anak yang pintar karena sudah sangat membantu mengajak anak om bermain. Jika tak ada kamu telinga om bosan mendengar rengekannya. Anak om manja sekali, jadi om susah untuk bekerja. Tapi karena ada kamu kerjaan om selesai.”
Betapa senangnya hatiku dikala itu, maklumlah anak kecil sangat senang sekali jika mendapatkan hadiah. Aku rasa bukan hanya aku saja tapi semua anak pada umumnya.
Beberapa bulan saja aku dan saudara-saudaraku mengaji di rumah tetangga, masjid didekat rumahkupun telah membuka pendaftaran untuk penerimaan murid mengaji dan kami dipindahkan mama mengaji di masjid itu, Masjid Nurul Haq. Suasana disana masih saja sama, aku sekelas dengan anak-anak yang umurnya satu tahun sampai tiga tahun lebih tua dariku. Tapi aku masih bisa mengimbanginya. Lagipula aku satu kelas dengan abangku yang diatasku yang lebih tua dua tahun dariku. Aku tak merasa canggung, malah ku merasa aman karena ada yang menjagaku. Jadi meskipun aku kecil, tak ada yang berani menggangguku. Satu tahun aku disana.
Tahun berikutnya aku masuk sekolah, disekolah teman-temanku berbangga hati mengaji di Masjid Mukhlishin karena memang dikala itu Masjid Mukhlishin terlihat lebih mewah dari masjid yang lain disekitar rumahku. Sehingga hatikupun goyah untuk pindah tempat mengaji. Kakak-kakakku 2 orang pindah ke masjid taqwa, sementara aku dan abang diatasku pindah ke masjid Mukhlishin. Itupun aku minta persetujuan darinya. Di Masjid ini uang bulanannya Rp. 500. Yang sedikit sulit dipenuhi mama, belum lagi biaya sekolahku dan biaya untuk saudara-saudaraku yang lainnya. Namun dimasjid ini aku mendapatkan kelonggaran, hanya abangku yang membayar sementara SPP ku dibebaskan.
Tak ada bedanya dari sebelumnya, dikelas aku lah yang paling kecil. Teman-teman yang satu kelas di sekolah, satu tingkat dibawahku. Karena mereka mengaji saat sudah masuk sekolah, jadi wajar saja keadaannya begitu. Penerimaan rapor cawu satu disana aku merah satu, abangku merah dua. Terang saja kejadiannya seperti ini, kami berdua anak baru yang belum dikenal guru. Lagipula disana sangat membosankan tak ada ubahnya waktu mengaji di rumah tetangga dulu. Bedanya metode yang dipakai adalah iqra’, jadi banyak sedikitnya lebih cepat kami menangkap pelajarannya.
Naik ke kelas tiga di MDA, guru yang mengajar sangat disiplin, tegas dan yang sangat mengagumkan suaranya subhanallah sangat indah melenggok-lenggok dengan iramanya sewaktu membaca Al-Qur’an. Beliau sangat senang kepadaku karena di kelas, akulah yang paling kecil. Aku juga senang mempunyai guru seperti beliau, ramah, suaranya indah, gagah, sangat perhatian dan humoris lagi. Tapi jangan salah, beliau sangat tegas. Kalau beliau sudah marah, semua orang takut kepadanya. Bagaimana tidak, kakinya yang panjangpun bisa melayang lebih cepat.
Cawu satu aku juara tiga. Benar sekali keberhasilan anak tak hanya tergantung pada anak tapi pada guru yang mengajarnya juga. Sewaktu belajar dengan bapak ini niaiku melunjak drastis. Yang membuatku bangga, abangku tak pernah gengsi satu kelas denganku walau banyak orang yang mengejeknya, “Halah masa kamu kalah sama adikmu!”
Cawu berikutnya aku juara satu, semua merasa risih dengan melunjak nilaiku dan cap orang-orang terhadap abangku membuatnya malas pergi mengaji. Padahal aku sudah berusaha memotivasinya. Bahkan jika ujian kami tak satu waktu, ku berikan bocoran soal dan contekan kepadanya. Tapi tetap saja aku tak berhasil membujuknya untuk bertahan sampai kami khatam Al-Qur’an.
Mulai mengenal guruku inilah aku slalu punya tekad dan bercita-cita jadi seorang guru mengaji. Meskipun tak pernah merasakan sekolah di sekolahan yang berbasis islami, alhamdulillah aku mampu menjadi seorang guru mengaji. Padahal hanya mendapatkan ilmu di MDA saja, hanya lima tahun, tapi lima tahun itu sangat berarti. Kelas dua SD sudah mampu menghafal surat an-nas sampai ad-dhuha, diajarkan percakapan bahasa Arab, diajarkan irama. Hmmm indahnya, tapi aku merasa semua mundur setelah semua berlalu. Aku lupa dengan bahasa Arab yang pernah ku kuasai, hafalanku tak melejit seperti dulu. Harus belajar lagi!!!
Beliau memang sangat hebat, kuliah dengan beasiswa S1, S2 di IAIN Imam Bonjol, S3 di Malaysia dengan beasiswa juga dan berbisnis disana. Terakhir berjumpa beliau berpesan, “Resi, gapailah segala sesuatu itu dengan sungguh-sungguh! Setiap keinginan pasti ada hambatan, ada celaan dan ada yang selalu berusaha menjatuhkan tapi jika kita selalu berjalan di jalan yang diridhoi-Nya, percayalah kesuksesan yang kamu impikan juga akan kamu dapatkan, jadikan semua itu motivasi. Dan satu hal lagi jaga dirimu, kehormatanmu, jangan pernah pacaran! Kamu tau, seorang pria yang bersungguh-sungguh dan mengutamakn Rabb-nya akan sangat bangga memilikimu. Seperti itulah wanita yang kini akan bapak sanding. Bapak tau kamu juga seperti itu, tapi perubahan akan sangat mungkin dengan situasi dunia seperti ini. Jadi bapak berpesan padamu untuk mempertahankan prinsipmu!!” pesan beliau saat memberikan undangan pernikahannya padaku di akhir tahun 2007.
Hmm terharu dengan pesan beliau, aku tau betapa sangat bangganya beliau mendapatkan seorang wanita seperti itu. Karena wanita yang dipinangnya tak pernah pacaran, keluar rumah hanya ketika ada keperluan yang ditujunya saja. Walau mereka terlambat untuk menikah, yang pasti mereka sama-sama sangat beruntung saling memiliki. Yang ku tahu guruku tersebut sangat pintar, mandiri bahkan sekolah dan kuliah adik-adiknya beliau yang membiayai, ramah, disiplin, dan taat. Kesimpulan yang ku dapat tetap sabar dan yakin akan janji Allah bahwa wanita yang baik-baik untuk pria yang baik-baik pula. Meskipun datangnya tak secepat yang diharapkan. Guruku tersebut menikah pada usia 38 tahun seingatku dan pendampingnya berumur 30tahun. Apa kabarnya guruku itu, inspirasiku untuk selalu berbagi ilmu agama. Semoga beliau sudah dikaruniai momongan mujahid negeri ini!!! Semoga suatu waktu kita dipertemukan lagi, di dunia ini dan berkumpul di syurga nantinya!!! Amiin...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istilah-istilah pada Microsoft office dan pengetikan cepat MS office

BATANG TUMBUHAN

BENTUK HIDUP TUMBUHAN