CURHATKU
Septemberku
04
September 2012
Waktu
terasa berjalan begitu cepat, ya satu bulan lebih telah berlalu. Rasanya baru
kemaren aku bertemu dengan adikku yang setahun lalu meninggalkanku untuk
melanjutkan studinya. Sekarang adikku harus balik lagi ke Yogyakarta bertepatan
dengan hari pertamaku Praktek Lapangan Kependidikan di Pariaman. Huh, sedih
sangat rasanya tak bisa menikmati waktu-waktu penghabisan berjumpa dengan
adikku saat itu. Pasalnya aku harus segera ke Pariaman, sendiri lagi. Mau tak
mau aku harus sedikit memperlambat mengendarai motor kesayanganku karena ku tak
ingin membuat kedua orang tuaku mengkhawatirkanku.
Setiap
saat mataku menjurus ke ponsel, kegelisahan mulai merongrong otakku. “Huh lama banget mama dan adikku di dalam,”
umpatku dalam hati. Bathinku mulai tak tenang, pasalnya sekarang Hp ku sudah
menunjukkan pukul 08.30 WIB. Itu artinya aku harus bersegera melaju ke
Pariaman. Ketidak tenangan ini barangkali disebabkan juga karena tidak tahunya
aku tentang medan yang akan ku tempuh dengan mengendarai motor nantinya.
Beberapa
kali ku ketik sms menanyakan keadaan di dalam bandara saat check-in. “Dek,
masih lamakah adek dan mama di dalam? Kakak mau berangkat ke Pariaman ini,”
jantungku berdegup kencang, lama sekali ku mendapat balasan. Ku coba untuk
menelpon, slalu saja di rijek. “Oh Tuhan,
tenangkan bathinku. Aku yakin semua akan baik-baik saja.”
Sedikitpun
hatiku tak ingin bepergian sebelum sungkeman dengan mama dan menciumi pipinya.
Paling tidak jika hari itu nafas terakhirku, masih ada hal yang indah yang bisa
dikenang oleh mama, bekas ciuman dari bibirku. Ketika ku bepergian selalu saja
kematian membayang-bayangiku. Paling tidak hal ini yang membuat kita slalu
ingat pada Allah hingga sifat sombong dan takabur jauh dari diri kita.
“Alhamdulillah,
mama... adikku yang ganteng,” jeritku sedikit histeris ketika melihat beliau
keluar dari pintu otomatis itu. “Dek, kakak kayaknya berangkat duluan. Yang
rajin belajarnya! Ingat pengorbanan semua saudara-saudaramu untuk kesuksesanmu,
oleh karena itu jangan sia-siakan sekolahmu! Kakak yakin kamu bisa mencapai
cita-cita dan kesuksesanmu. Doakan kakak juga agar kakak bisa menjelajahi kota
Yogyakarta karena kakak ingin menyambung pendidikan kakak di UGM,” ujarku
ketika adikku sudah berdiri di hadapanku.
“Insya
Allah Kak, biar kita bisa berdekatan. Aku janji akan rajin belajar dan...”
tiba-tiba saja kalimatnya terputus, kalimatnya tertahan karena menyembunyikan
air matanya. Namun mata tak bisa menipu. Sekarang cairan bening telah memenuhi
kantung matanya, ya matanya berkaca-kaca. Ku peluk adikku erat menumpahkan
kerinduan yang sebentar lagi menyesakkan dadaku. “Sabar adikku! Ini demi
kebaikan dan cita-citamu! Kakak yakin kamu kuat, kamu hebat, kamu bisa lalui
semua ini sampai cita-citamu tercapai. Jangan menangis ya! Kakak paling tidak
tahan melihat air mata,” sejurus air matakupun melesat di pipi. Ku hapus
sesegera mungkin agar adikku tak melihat kesedihanku berpisah dengannya. Aku
takut jika dia melihatku bersedih, hatinyapun berat untuk melanjutkan studinya.
Huh, aku berusaha tegar.
“Hmmm
enak saja aku nangis, kakak tuh yang nangis,” adikku bersegera menyeka air
matanya.
“Senyum
dunk ganteng! Lihat kakakmu dah tersenyum begini,” ku cubit pipinya yang sudah
mulai berisi sewaktu menghabiskan masa liburnya di Padang.
“Kak,
jika kakak nikah nanti, aku maunya diwaktu libur sekolahku agar aku bisa hadir
di pesta pernikahan kakak. Bener ya! Awas kalau nikah tanpa kehadiranku, aku
tak terima!” aku balas ancamannya dengan senyuman.
“Hmmm
adikku, kakak maunya nikah kalau kamu sudah berhasil.”
“Nggak,
kalau nunggu aku berhasil, sudah ketuaan tuh. Aku maunya tahun depan biar aku
bisa pulang ke Padang lagi.”
“Ihhh
pengeeennn...”
“Iya
dunk, kan kalau gak ada aku, gak rame.”
“Oke
deh, Insya Allah doakan saja kakakmu didekatkan dengan jodohnya.”
“Aku
doakan supaya kakak berjodoh dengan Mmm....”
“Amiin,
he. Semoga beliau tercipta untukku. Jika tidak, semoga Allah mengirimkan orang
sebaik dia, sesabar dia dan setaat dia.”
“Amiiin...”
jawab kami serempak.
Ku
lanjutkan berpamitan dengan mama, ayah dan papa.
“Ma,
doakan aku selamat sampai tujuan!” ku cium tangan mama, pipi mama bahkan kening
mama.
“Iya
Nak! Hati-hati di jalan! Mama slalu mendoakanmu,” mamapun mencium pipiku dan
memelukku hangat. Subhanallah, aku masih bisa mencium dan memeluk ibuku.
Terserah semua orang yang menganggapku manja, tapi mencium mama adalah hal yang
sangat membuatku termotivasi dan bangkit untuk mencapai cita-cita dan impianku.
Terkadang ciuman itu yang menghilangkan keluhan dan lelah yang bersarang di tubuhku.
“Ayah,
aku berangkat dulu, doakan aku selamat sampai tujuan!”
“Iya,
jangan ngebut-ngebut! Ini pertama kalinya kamu menempuh nagari orang. Lagi pula
kamu tak pernah mengendarai motor sejauh itu. Jadi berhati-hatilah!”
“Insya
Allah yah.”
Ku
lanjutkan berpamitan dengan papa, papa adalah seorang bapak yang menanamkan
benihnya di perut ibuku. Namun kini mereka telah berpisah dan telah memiliki
keluarga masing-masing. Papa lebih dulu menikah, sedangkan mama menikah setelah
tujuh tahun menjanda. Mama menikah dengan ayah 14 tahun yang lalu. Nah adikku
ini adalah buah cinta mereka. Meskipun hanya adik seibu, tapi aku mencintainya
selayaknya adik seayah dan seibu.
“Pa,
aku berangkat dulu. Doakan aku sampai pada tujuan dengan selamat!”
“Kamu
berangkat sendiri? Apa kamu yakin? Kamu itu perempuan, tempat sejauh itu. Kamu
pikir tempat itu dekat apa?” dari dulu papa tak pernah berubah, selalu
meragukan kemampuanku. Aku tahu ini bukti cintanya dan kekhawatirannya padaku.
Tapi aku butuh kepercayaannya agar aku bisa melalui segala hal yang
menghadangku dengan semangat.
“Bukannya papa tak mau
mengajarimu. Tapi kamu harus menyadari kekuranganmu, kakimu tak sampai
bagaimana mungkin kamu bisa mengendarai motor. Tidak-tidak, papa tidak mau
mengajarimu. Mengertilah papa tak ingin melihat anak gadis papa patah tulang,”
kata-kata ini telah menggores otakku, sehingga masih terasa saja sakitnya.
Kapan papa bisa mempercayaiku bahwa aku bisa, aku bisa seperti mereka yang bisa melakukan apapun.
“Papa,
percayakan semuanya pada Allah! Doakan saja anakmu ini agar selamat sampai
tujuan dan pulang dengan selamat,” ku jawab dengan tenang. Dengan sedikit
merungut beliau memberikan kepercayaan padaku. Akupun mempercepat langkahku
menuju parkiran motorku.
Huuuuh,,,
ku tarik nafas dalam-dalam, aku tak kan menoleh ke belakang karena air mata ini
mengalir tanpa henti. “Sampai bertemu
lagi adikku, sampai bertemu tahun depan. Itu artinya satu tahun lagi kita akan
bertatapan lagi. Kakak mencintaimu adikku.”
Disepanjang
perjalanan air mata ini masih saja melesat cepat seiring laju motor yang ku
kendarai. “Tidak-tidak, aku tidak boleh menangis, aku tidak boleh memikirkan
semua ini sehingga menjadi beban pikiranku. Akibatnya berbahaya jika aku
melamun sambil berkendara. Mmm aku yakin aku kuat, aku harus konsentrasi, aku
berani ke Pariaman sendiri, ya sendiri dengan motor ini walaupun aku tak pernah
kesana sebelumnya,” sugesti demi sugesti ku tanamkan dalam pikiranku. Karena ku
ingat seorang hypnoterapis muda yang pernah menjelaskan padaku bahwa sebenarnya
kita mampu menghipnosis diri sendiri. Terima kasih buat beliau yang mengajari
banyak hal walau tak secara langsung.
Di
sepanjang perjalanan ponsel ini bergetar dan berdering, siapakah gerangan? Panggilan
dan sms-sms yang masuk berkali-kali ku abaikan. Aku tak ingin terlambat dan
konsentrasiku terganggu oleh hal-hal yang dikabarkan lewat ponsel itu. Pasalnya
medan yang ku tempuh adalah jalan raya yang isinya mobil-mobil besar dan truk-truk
pengangkut barang. Sekali lengah, seumur hidup tak kan berguna lagi hidup kita.
Bagaimana tidak, jika sekiranya truk tersebut melindas atau menggeser kita
kemungkinan terburuk nyawa melayang atau paling tidak patah tulang atau cacat
dalam waktu lama.
“Simpang
ikan, belok kiri, pertamina dan sedikit lagi aku sampai ke rumahnya. Mmm... aku
lupa satu hal ‘tak boleh ngebut!’ ya pesan yang slalu ku ingat dari seorang
teman yang menungguku di rumahnya,” hatiku berkata-kata.
To
Be Continued....
Komentar
Posting Komentar