Berbagi Cerita Berbagi tentang Cinta

Teori Tak Pernah Sama Dengan Praktek di Lapangan
10 september 2012
Hari ini hari pertama memasuki kelas yang akan aku ajar selama pengalaman lapangan kependidikan (PLK). Hmm dek-dekan pastinya. Namun masih ada waktu untuk mempersiapkan mental barang agak 1 jam lebih. Pasalnya setiap senin pagi sekolah ini mengadakan upacara bendera. Upacara bendera yang ku lihat pagi ini sangat heboh, disetiap penjuru barisan anak-anak berbicara sehingga terjadi kebisingan. Jika mereka menyadari perjuangan pahlawan dalam merebut kemerdekaan, mungkin mereka tidak akan pernah seperti ini saat upacara bendera, pasti mereka akan sangat menghargai dan mengerti makna upacara bendera yang sesungguhnya.
Setelah upacara bendera usai, kelas pertama yang ku masuki adalah kelas VII 6, siswa di kelas ini sangat peribut. Mereka tidak peduli guru mereka sudah berada di depan kelas mereka. Yang berjalan-jalan di kelas, tetap saja berjalan-jalan. Yang bernyanyi tetap saja bernyanyi, yang menggendang meja, asyik dengan aktivitasnya tersebut. Yang berlarian juga tak kalah teriakannya “Ibuuuukkk... manga paja ko Bukkk ha... (kenapa anak ini Buk?)” sembari berlari kian kemari. Yang duduk manispun hanya ada beberapa siswa. Amat banyak aktivitas yang ku lihat di kelas ini.
“Oi, angku-angku duduk lah lai!! (Hai Tuan-tuan duduklah lagi!!)” teriakan pertama yang ku dengar dari guru yang mengajar di kelas ini pada jam pertama. Ya beliau adalah guru yang akan membimbingku dalam Pengalaman Lapangan Kependidikan (PLK) di sekolah ini, tepatnya mata pelajaran biologi. Seruan tersebut tak dapat respon dari mereka. Guru ini pun berdiri dan kembali berujar, “Oi buyuang duduaklah lai, upik banun jan bagaluik juo! (Hai pria silahkan duduk, perempuan-perempuan jangan lagi bercanda-canda!)” teriakan ini masih saja dianggap angin lalu.
Guru ini pun mempercepat langkahnya menuju anak yang tidak mendengarkan seruannya. “Ampun Buk... Ampun Buk... sakik Buk-sakik Buk (Ampun Bu... Ampun Bu... Sakit Bu-sakit Bu!)” rintihan anak yang mendapatkan cubitan. Dengan refleks semua anak terdiam dan duduk pada tempatnya masing-masing karena mereka takut mendapatkan giliran yang sama.
“Kalian kalau ndak bisa diatur, kalua se lah!!” sembari menunjuk ke pintu, anak-anak terdiam dan duduk manis. Teori tak pernah sama dengan praktek. Di kampus kami diajarkan agar tak pernah membentak atau memanggil anak dengan sebutan kalian karena akan menjadikan jurang pemisah antara anak dengan gurunya. Sampai saat ini aku masih mematuhinya dan menerapkannya ketika mengajar les dan privat. Sehingga ketika kata kalian keluar dari mulutku, kedengarannya akan sangat aneh.
Semua bercampur aduk di kepalaku, “Oh Tuhan bagaimana caranya aku menenangkan anak-anak ini jika kelak aku masuk kelas sendirian karena pertemuan berikutnya aku yang mengajar mereka tanpa ditemani guru tersebut. Apa yang aku lakukan? Jangankan mencubit anak orang, adikku saja tak pernah ku cubit paling-paling hanya cubitan sayang untuk mengganggunya. Dengan teriakan?? lebih tak mungkin lagi, Teriakan gurunya saja tak dihiraukan, apalagi teriakanku. Jangankan untuk berkata lembut, teriak-teriak pun suara kita tak mendapat celah diantara mereka. Kekuatan suara mereka lebih tinggi dari kekuatan suara kita. Owalah...”
Sudah seminggu ini aku berkeliling di sekolah ini, tak satupun guru yang menggunakan bahasa Indonesia yang baik di kelas. Panggilan guru terhadap anak asal sebut saja. Aku ingat sabda Rasulullah panggillah seseorang dengan nama yang disukainya sehingga hatinya senang dengan panggilan tersebut dan anak tersebut juga senang dengan orang yang memanggilnya.
Ku perhatikan dengan seksama guru ini menjelaskan pembelajaran, ketika papan tulis sudah penuh, guru ini pun berujar, “Papan sudah penuh, harap dibersihkan!” simpel namun kaya makna. Tak satupun siswa yang bergerak sama sekali, dua sampai tiga kali guru ini mengucapkan hal yang sama, barulah ada anak yang bergerak ke depan kelas untuk menghapusnya. Kurang pekanya anak-anak ini, seharusnya ketika guru sudah berkata seperti itu, itu artinya guru tersebut meminta tolong untuk menghapuskan papan tulis.
Lagi-lagi teori tak sama dengan praktek di lapangan. Kami juga diajarkan menghapus papan tulis adalah kerja guru. Jadi tugas guru bukan hanya mentransfer ilmu dan mendidik saja namun menghapus papan tulis juga. He itu yang ku dapat sewaktu kuliah microteaching...
Dan penyakit yang tak pernah hilang dari guru-guru bahkan dosen-dosen yang sering saya temui dari dulu adalah sering keluar kelas. Ketika guru atau dosen selesai menjelaskan pelajaran, anak-anak disuruh mencatat dan guru tersebut keluar kelas dalam waktu yang lama, kemudian setelah masuk kelas bertanya, “Sudah selesai mencatatnya anak-anak??” dan siswapun menjawab “Sudah Buk!” “Sekarang silahkan buka LKS-nya kerjakan halaman sekian!” setelah memberikan instruksi, guru tersebut keluar kelas lagi.
Aku tak mengerti apakah hal ini dibenarkan atau tidak. Jika melihat kondisi lapangan, hal ini sah-sah saja dilakukan asalkan jangan berulang-ulang dan dalam waktu yang lama. Pasalnya guru atau dosen tak sempat makan pagi, sebagai seorang isteri dan ibu di rumah tangga biasanya pekerjaan ibu rumah tangga di pagi hari adalah memasak untuk sarapan pagi suami dan anak-anaknya. Setelah itu mengurus anaknya: memandikan, membereskan peralatan sekolahnya, membersihkan rumah bahkan disempatkan mencuci baju pada waktu shubuh tersebut. Begitulah perjuangan seorang isteri dan seorang ibu yang patut kita acungi jempol dan kita hargai. Betapa tidak Allah memerintahkan kita untuk berbakti kepada ibu, pengorbanan seperti itu saja sudah sangat berat apalagi mengandung, melahirkan yang tantangannya kematian dan menyusui selama dua tahun yang terkadang kita sering rewel dan merengek di malam hari membangunkan ibu untuk menyusu.
Hmmm namun ada beberapa pria yang tak menghargai perjuangan isterinya. Salah sedikit, teriakan, pukulan dan panggilan buruk dilontarkan pada isterinya. Sehingga apa yang terjadi?? Rumah tangga serasa neraka (istilah bagi yang merasakannya), pertengkaran demi pertengkaran tak dapat dielakkan. Bahkan ada suami yang tega berselingkuh bahkan ingin berpolgami hanya karena alasan yang tidak syar’i. Ini bukan hanya untuk para suami, sebagai seorang anak kita juga patut menghargai dan bersyukur dengan perjuangan ibu untuk menjadikan kita sukses.
Banyak sekali kita lihat akhir-akhir ini anak yang tak menghargai perjuangan ibunya (orang tuanya). Mereka seolah-olah memeras orang tuanya minta dibelikan ini dan itu. Sekolah sering bolos dan cabut, kuliah asal-asalan yang penting ngumpul bareng teman, bahkan ada yang terlibat miras, narkoba dan pergaulan bebas. Na’udzubillahi mindzalik.
“Bagi perempuan/isteri tidak ada pekerjaan yang lebih baik dan bagus selain guru karena menjadi seorang guru kita masih sangat bisa memberikan perhatian besar kepada anak dan rumah tangga. Di sekolah jadi guru, sampai di rumah langsung jadi ibu rumah tangga. Coba seorang perempuan pekerja kantoran, jika pekerjaan dikantor tak bisa diselesaikan di kantor dibawa pulang dan kita harus fokus pada apa yang kita kerjakan sehingga perhatian di rumah pun kurang atau bahkan sering keluar kota untuk meeting ini dan itu. Jadi bersyukur kamu jadi seorang guru! Selain itu pekerjaan menjadi seorang guru adalah pekerjaan yang mulia!” nasehat guru ini kepadaku.
Hmmm aku tersenyum mendengarnya. Jadi ingat photo profil dari temanku “Calon isteri yang baik adalah seorang guru! Calon mantu yang baik adalah seorang guru!” ya ya itu luapan dari seorang guru yang sudah menjalani hidup, yang sudah banyak makan garam.
Aku sangat bersyukur jadi seorang pendidik, oleh karena itu dulu aku hengkang dari jurusan kimia analisis. Lagipula aku sudah berkali-kali minta petunjuk kepada Allah dengan melaksanakan sholat istiqarah untuk menentukan pilihan keluar dari jurusan tersebut. Sampai detik ini tak sedikitpun ada penyesalan terlambat kuliah dan terlambat diwisuda. Karna ku yakin ini adalah pilihan terbaik yang diberikan Allah kepadaku. Insya Allah...
To be Continued...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istilah-istilah pada Microsoft office dan pengetikan cepat MS office

BATANG TUMBUHAN

BENTUK HIDUP TUMBUHAN