Alumni Broken Home

 

Part 1

Sahabat, pernahkah mendengar istilah broken home? Tentu pernah ya. Broken home adalah istilah yang ditujukan kepada keluarga yang tidak harmonis dan menyebabkan perpecahan.

Saya salah satu alumni keluarga broken home. Berada pada keluarga broken home adalah masa tersulit yang pernah saya alami. Setiap hari melihat orangtua bertengkar, mama sering menangis, papa yang selalu memperturutkan egonya. Sehingga mereka hanya memikirkan perasaannya tanpa mengetahui apa yang dirasakan anak-anaknya. Adegan pertengkaran dan keributan yang selalu menghiasi rumah. Ujung-ujungnya air mata.

Pada suatu ketika papa memutuskan akan meninggalkan kami dan memilih wanita lain menjadi pendamping hidupnya. Sebagai anak hati kami tersakiti, apalagi sebagai istri. Alhasil kami bersaudara sering bertengkar karena melihat kondisi rumah yang isinya pertengkaran semua. Jika ada sesuatu yang diperebutkan, kami lewati dengan bertengkar. Pada akhirnya orangtuapun ikut marah dan membentak anak-anaknya.

Waktu itu usiaku masih tiga tahun, si bungsu usia tiga bulan. Seperti realita yang ada, broken home korbannya adalah anak-anak. Kami menjadi anak yang tumbuh tanpa perhatian dan kasih sayang orangtua. Lalu apa yang terjadi? Apa kami menjadi anak yang liar di luaran sana? Alhamdulillah tidak sahabat.

Ketika terjadi perceraian orangtua kami, papa menikah lagi sedangkan mama merantau ke pulau jawa menghilangkan stress dan depresinya dengan meninggalkan kami yang hancur. Kami tidak hanya ditinggalkan papa tapi juga ditinggalkan mama. Namun kami masih punya nenek yang sangat menyayangi kami yang senantiasa menuntun kami tetap teguh pada agama. Kami menyimpan rasa benci pada mama? Jawabannya tidak. Mama merantau atas perintah nenek agar mama bisa liburan dan terhibur dan melupakan masalahnya. Nenek menjelaskan agar kami memahami situasi yang dialami orang dewasa (Orangtua kami).

Sampai pada suatu waktu kami dipisahkan antara satu dan lainnya. Kakak-kakakku di rumah bersama nenek. Salah satu abangku bersama papa. Aku hidup bersama nenek dari papa. Disana hanya beberapa hari saja karena family papa mengajakku tinggal bersamanya. Hanya dengan bujukan, aku akan melihat kereta api lewat setiap hari. Melihat kereta api adalah impianku. Aku menurut saja waktu itu karena keluarga tersebut memang belum dikaruniai anak meskipun sudah menikah lama. Apakah aku bahagia? Tentu tidak. Disana aku merasa kesepian. Walau setiap kereta api lewat aku berlari keluar rumah dan melambaikan tangan kepada kereta tersebut.

Lama-lama aku bosan, aku kesepian, aku termenung di pinggir rel kereta. Setiap kereta lewat, aku berharap mama keluar dari kereta itu dan menjemputku. Aku berteriak keras, “Kereta api, bawa aku kepada mama. Aku rindu mama. Kereta api bawa aku pulang, aku ingin pulang,” air mata mulai mengalir. Aku terdiam duduk di tanah yang penuh kerikil itu sambil memeluk kedua kakiku.

Keluarga yang bersamaku saat ini hanya membiarkanku tanpa bertanya apa yang aku mau, apa yang aku rasa. Aku menjadi anak pemurung, menutup diri, tak percaya diri. Aku hanya berpikir bagaimana caranya agar aku sampai di rumah kembali. Pernah aku berusaha berjalan menyusuri rel kereta tersebut, tapi aku takut jika aku tersesat. Di sepanjang perjalanan aku menangis, “Kenapa tidak ada yang menyayangiku? Sehingga aku terbuang disini seorang diri?” pertanyaan yang tak pernah ku temui jawabannya. Walau ku tau keluarga ini mengambilku karena aku anak yang cantik dengan rambut terurai panjang, hitam dan tebal. Tapi tetap saja aku merasa asing disini.

“Kereta api bawa mamaku kesini,” aku mulai menangis sendiri. Tanpa ku sadari ada seseorang yang menghampiriku dari belakang. Aku mendengarnya menangis. Perlahan-lahan suara langkah kakinya mulai terdengar jelas dan lambat laun lebih dekat. Ia memanggilku, “Raisa….”

Tidak, aku merasa tidak yakin. Aku merasa ini cuma ilusi yang tidak nyata. Tapi suara ini mampu menghentikan tangisku. Suara ini seperti suara yang sangat familiar di telingaku. Suara dimana harapan ku gantungan padanya. Suara yang senantiasa menemani aku terlelap.

“Mama… mama… mama,” aku menangis sejadi-jadinya. Aku tumpahkan semua yang aku rasakan. Air mata mengalir deras melesat sampai pipi. “Jangan pergi lagi Ma! Jangan tinggalkan aku lagi Ma! Aku mau pulang Ma,” aku memeluk mama erat dalam gendongan mama.

“Maafkan mama Nak. Mama meninggalkanmu. Mama tidak tau kalau kalian terpisah-pisah begini,” Mama menghapus air mataku setiap cairan itu membasahi pipiku.

Seorang ibu paruh baya yang merawatku dalam beberapa waktu yang tak ku ingat entah beberapa hari, beberapa bulan, atau beberapa tahun tersenyum melihatku. Yang ku tahu dan ku rasa waktu berjalan begitu lama. Ternyata aku salah dalam menilainya, ia memperhatikan seluk belukku. Ia tau aku butuh sosok mamaku. Aku ingin bersama mamaku. Alhamdulillah ia mengabulkan impianku.

Wanita paruh baya itu adalah bibi dari papa. Beliau mencari cara agar aku bahagia. Dan kebahagiaanku adalah berkumpul bersama mama. Hari ini beliau membawa mama di hadapanku. Beliau berusaha mengambilku dari gendongan mama, tapi aku menolaknya. Aku takut ia berusaha memisahkan aku lagi dengan mama.

Mama berpamitan serta membawaku kembali pulang ke rumah. Ada banyak pertanyaan yang berkelabat di dalam otakku tentang kepergian mama selama beberapa bulan lamanya. Tapi pertanyaan itu tak pernah ku lontarkan. Yang ada di dalam pikiranku sekarang alhamdulillah mama sudah bersamaku.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istilah-istilah pada Microsoft office dan pengetikan cepat MS office

BATANG TUMBUHAN

BENTUK HIDUP TUMBUHAN