Ayang Baru

 

Sidoarjo, 7 Maret 2022

Hari ini kesedihan masih saja bersarang di ulu hati. Entah mengapa ia tak kunjung pamit dan pergi? Padahal ia sudah lama singgah dan pergi sesuka hatinya. Ia selalu menjadi alasan berurainya air mata. Sebaik-baik apapun menyembunyikan kesedihan, sesekali ketahuan juga sama anak-anak manis yang ku dampingi belajar selama hampir satu tahun ini. Anak-anak yang perhatian, pengertian, pun pedulinya tinggi.

Keheningan mulai meresapi ruangan ini, karena santri-santri tersayang sudah pulang. Saat-saat seperti ini kesedihan datang mengetuk pintu air mata. Hmm aku sudah berusaha kuat dan tegar agar tidak ada lagi air mata yang jatuh tanpa sebab. Tapi kenangan indah tentangnya selalu menyulut kesedihan datang bertamu. Biasanya saat-saat sepi dan hening begini ku buka ponsel menelpon ia yang ku sayang setulus hati hanya sekedar menanyakan “Lagi ngapain, Yang?” Hei… sekarang setiap hening siapa yang harus ku telpon?

“Ustadzah… aku belum dijemput,” suara manja nan halus mengagetkanku. Air mata bak air terjun melesat deras tiba-tiba terhenti. Ku ambil tisu, ku layangkan ke mata dan seluruh wajahku.

“Owh belum dijemput ya sayang. Sebentar ya ustadzah telponkan umminya,” jawabku spontan dengan nada tenang.

“Ustadzah menangis? Kenapa ustadzah menangis?”

“Hehe gak apa-apa kog sayang.”

“Ini ummi wa ustadzah. Mba sudah ditunggu di parkiran.”

“Oke ustadzah, jazakillah khoir. Assalamu’alaikum… ana turun ya us.”

“Iya sayang.”

Selang beberapa waktu, kelas yang hening dan sepi kembali ramai. Jam dinding telah menunjukkan pukul 11.20 itu artinya santri sesi 2 akan memasuki kelas untuk istirahat.

Sejak covid melanda dunia, sekolah-sekolah dilaksanakan secara online. Baru beberapa bulan ini sekolahku melaksanakan PTM (Pembelajaran Tatap Muka) dengan sistem dua sesi yakni pagi dan siang. Keramaian mereka kembali mengusir rasa sedih yang tadinya bertamu. Satu-persatu mereka memasuki ruangan.

“Astgahfirullah…. Lemes ustadzah.”

“Kenapa ustadzah?” tanya salah satu santri agak kaget.

“Belum disemangati ayang,” sontak seisi ruangan tertawa.

“Iya ustadzah kan sudah gak punya ayang. Suami ustadzah kan sudah meninggal,” jawab Fatiha. Hiks sedihnya hati diingatkan.

“Semangat ustadzah!” Kiya pun menimpali.

“Loh kog?” jawab Fatiha kembali.

“Iya sekarang ayang ustadzah kan kita-kita. Jadi kita-kita lah yang akan selalu menyemangati ustadzah. Iya kan ustadzah, kami ayang baru ustadzah kan?”

Aku tersenyum mendengar pernyataan mereka. Hmm mereka paling bisa bikin hati meleleh. Tubuh yang tadinya lemas sudah mulai bersemangat.

“Ustadzah… Ustadzah gak boleh lemes. Ustadzah harus semangat. Ustadzah gak boleh sakit lagi,” Kiya menghampiri memelukku manja.

“Iya insya Allah sayang, doakan ustadzah ya.”

“Iya ustadzah.”

Tubuh lemes ini akhirnya memancingku untuk bercerita kepada mereka tentang kronologi yang mendera.

“Jadi mbak ustadzah itu lemes karena kemarin gak tau salah makan apa gimana. Tadinya ustadzah sehat-sehat saja, gak apa-apa, badan juga gak panas. Setelah ustadzah nyuci, beberes rumah, sarapan pagi kemudian berangkat ke toko. Sampai di toko ustadzah menjahit taplak meja, lha kok tiba-tiba pusing dan muntah-muntah dari jam sembilan pagi sampai jam dua siang. Jadi lemesnya masih kerasa sampai sekarang.”

“Ih ustadzah curhat? Kenapa sih ustadzah curhat ke anak-anaknya? Ustadzah gak punya teman curhat?” wadidau menusuk banget dong pernyataannya. Hiks… hehe tapi tenang saja aku tidak marah, pun tidak tersinggung, apalagi menangis. Emang kenyataan kog apa yang mereka sampaikan.

“Ya iyalah ustadzah curhatnya ke kita. Kan kalau sudah menikah istri itu curhatnya ke suami. Suami pun juga curhatnya ke istri. Sekarang ustadzah kan sudah gak punya suami, ya wajar curhat ke kita. Iya kan ustadzah?” Masya Allah, anak-anakku dapat pengetahuan dari mana ya, pemikirannya dewasa semua. Aku pun mengangguk sembari tersenyum.

Mereka itu anak yang perhatian, pengertian, dan paling bisa menghibur. Pokoknya seru lah. Sehari tidak berjumpa mereka berasa lama waktu berputar. Ku pikir hanya aku yang merasakan hal tersebut. Ternyata tidak, mereka pun merasakan hal yang sama. Baru sehari aku gak masuk sekolah, mereka ngirim chat dan komen di channel youtube ku.

“Ustadzah, aku lemes.”

“Lemes kenapa mba? Gak bawa bekal ta?”

“Aku puasa ustadzah jadi gak bawa bekal.”

“Yang sabar sayang. Yang Namanya puasa itu bukan hanya menahan haus dan lapar tapi juga menahan ….”

“Hal-hal yang membatalkan puasa ustadzah,” jawab mereka serentak.

“Itu loh tau. Jadi kalau berpuasa kita tidak boleh tergoda oleh apapun apalagi yang membatalkan puasa. Sabar ya Bel harus kuat puasanya. Biar kuat, ustadzah temani puasanya ya.”

“Ustadzah puasa juga?”

“Insya Allah sayang.”

“Samaan dong kita,” jawabnya semangat. “Tapi aku kog haus ya ustadzah?”

“Yah mulai lagi….”

***

Terimakasih untuk hari ini ya anak-anakku. Berkumpul bersama kalian benar-benar mampu menghalangi kesedihan untuk bertamu. Semoga menjadi anak yang perhatian, pengertian, penyayang, terutama menjadi anak yang sholihah untuk keluarga, teman, terutama untuk orangtua. Aamiin…

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istilah-istilah pada Microsoft office dan pengetikan cepat MS office

BATANG TUMBUHAN

BENTUK HIDUP TUMBUHAN