SETIA DIBATAS BATU ABADI

 

SETIA DIBATAS BATU ABADI

 

Harusnya aku membencimu, tapi tak pernah ku lakukan. Ketika hatiku merasakan kasih dan sayang, dia akan selalu saja begitu meski disakiti berkali-kali. Harapan kita yang pernah terukir, kini ku tempuhi sendiri. Semoga bisa menggapainya, tanpamu disini, disisiku.

Ahh, terkadang terfikir olehku sampai kapan memori ini bisa menghapusmu? Belum satupun orang yang mampu menghapusnya bahkan tak ada yang mau menghapusnya. Apakah dibiarkan begitu saja tersimpan rapi? Semua itu sangat menyakitiku.

Bagimu tetap saja aku yang salah, aku berubah. Aku tak mengerti lagi tentang apa yang kau rasakan, aku tak mampu menjadi fibrinogen penutup lukamu. Aku tak mampu jadi oksigen yg setiap waktu menemani perjalananmu. Lagi-lagi aku yang salah. Berkali-kali ku katakan “Jangan pernah Kau bohongi aku! Jika itu kau lakukan, percayalah tak kan pernah sama hati ini padamu.”

“Kau bukan siapa-siapa bagiku, aku tak kan berkorban apapun untukmu terkecuali jika Allah menyentuh hatiku. Pengorbanan untuk orang tuaku saja masih seujung kuku ku lakukan dan aku tak ingin membaginya untukmu.”

“Sebenarnya aku rindu padamu”

Aku tegaskan, “Tak kan ada hubungannya rindu dengan uang.”

“Ada, aku ingin menelponmu, tapi aku tak punya uang mengisi pulsa. Ini pake Hp teman. Aku mohon isikan pulsaku!” Ku katakan dalam hati kau terlalu bodoh dan polos. Kau pikir aku akan simpati dan kasihan dengan pengakuanmu? Semua hanya akan menjatuhkan harga dirimu sebagai laki-laki pekerja keras. Jika aku isikan pulsamu, apakah aku percaya pulsa itu hanya digunakan untuk menghubungiku?

“Maaf, aku tak bisa menelponmu. Yang sedang merindu bukan hatiku, tapi hatimu.”

Selang beberapa waktu telpon itu kembali berdering, ya dia menelponku lagi. Kali ini dengan nomor handphone nya sendiri. “Hebat, tak ada uang bisa isi pulsa. Hambur-hamburkan saja uangmu untuk hal yang tak berfaedah.”

“Tidak... aku benar-benar tak ada uang. Bahkan untuk makan saat ini, ku tahan perutku.” Caramu tepat, benar-benar membuatku kasihan mendengar rintihan sakitmu.

“Untuk apa kamu isi pulsa jika perutmu lebih membutuhkannya. Apakah pulsa itu mampu mengenyangkan perutmu?”

“Tidak... ti-tidak... ini karna rasa rinduku. Laparpun akan ku tahan asalkan jangan menahan rindu.” Bodoh jika aku percaya dengan gombalmu itu. Aku terdiam dan mengatup bibir rapat-rapat. Tak sepatah katapun keluar dari mulutku.

“Kenapa terdiam?” tak kau temui jawabku.

“Maaf, tadi aku hanya bercanda. Aku tahu kamu sangat mengerti jika ada orang yang membohongimu. Pulsa ini bukan pembelianku, seseorang telah mengisinya untukku.” Seseorang? Kau berusaha membuatku cemburu. Kau berhasil membuat jantungku terhenti sejenak. Ku hela nafas panjang, ku tarik semakin dalam kemudian ku hembuskan. Ku redam gejolak hati yang sudah tak karuan ini. Ku redam api cemburu yang kian membakar hatiku.

“Siapakah seseorang itu?” Sekarang diam yang membungkam mulutmu. Ku tunggu jawabanmu. Lama sekali kau berpikir.

“Hah, sudahlah jika kamu tak mau menjawabnya.”

“Tak perlulah kamu tahu siapa orang itu, yang penting saat ini aku bisa menelponmu,aku tak bahagia dengan jawaban itu. Meski jawaban yang ingin aku dapatkan tak kau berikan, aku tetap saja menahan cemburu yang telah membuncah dalam hati dan pikiranku. Aku berusaha percaya kau slalu jujur padaku.

 

***

 

Setiap kata yang ku ukir, sangat hati-hati ku ungkap padamu. Aku tak ingin kebodohanku juga terbias indah dalam pikiranmu. Aku ingin ketulusan darimu bukan pemanfaatan semata. Habis manis, sepah masuk sampah.

Cahaya kelam kini mengisi rongga-rongga kamarku. Sebuah ketakutan bagai phobia. Di tempat remang-remang inilah ku lepaskan lelahku juga lelah tentangmu yang menghabiskan pikiranku. Terkadang aku ragu kepadamu. Tapi setiap keraguan itu datang, kau menepisnya.

“Tahukah engkau Adindaku bagaimana ketika cinta bertasbih?” berkali-kali kau bertanya seperti itu. Apa aku harus mengerti akan itu? Entahlah, apakah jawaban itu mampu menenangkan dendrit-dendrit sarafku yang menyampaikannya ke akson dan di telaah otakku.

“Mengertikah Engkau Kanda, galau kini menyelimuti pleura paru-paruku. Sehingga dada ini sesak tak tertahankan setiap kali bernafas. Tahukah Engkau wanita itu datang setiap waktu malamku, menangis memohon agar aku menjauhimu. Siapa wanita itu?” aku berusaha mendapatkan penjelasanmu tentang wanita yang slalu saja menghampiriku. Wanita yang datang ketika malam mengisi mimpiku. Siapakah dia? Hatiku tak henti-hentinya bertanya.

“Tidak... jangan ulangi kau katakan angin risau yang menerpa hatimu. Tidakkah Engkau mempercayaiku lagi? Sering ku dengar ketakutanmu itu. Namun apa buktinya?”

Huh, ku tarik nafas dalam-dalam. Bagaimana mungkin aku bisa membuktikannya, aku disini kau disana. Jarak telah jadi penghalang tatapan kita. Namun rindu yang membuatnya selalu indah.

Keheningan mengais dinginnya malam menusuk pori-pori tubuh. Pada waktu-waktu inilah kita bercerita tentang keindahan pengharapan-pengharapan masa depan dan kegalauan hati kita. Waktu malam yang senantiasa menemani setelah tersungkur pada-Nya. Aku percayakan selalu pada Rabbku, kau pilihan-Nya untuk hidupku karna tahajjud yang selalu kita laksanakan bersama di tempat yang berbeda. Aku meyakini kau jodohku karena kau selalu dengan sabar mengajariku dan mendidikku agar lebih dekat dengan Allah ta’ala.

Perasaan yang sama kembali mengganggu pikiranku, lagi-lagi kau menepisnya. “Tak ku biarkan Kau menangis. Aku akan selalu jadi tisu penghapus air matamu.”

“Tidakkah Engkau tahu Kanda, tisu itu memang lembut. Namun lama-kelamaan akan basah, lunak kemudian hancur.”

“Tidak... aku yakin aku bisa. Setelah tisu itu basah, aku akan jadi angin untuk mengeringkan tisu itu. Bukan hanya tisu itu saja yang kering tapi kamu akan ku buat sejuk.”

“Angin mampu membunuhku ketika dia menjadi Katrina. Meluluh lantakkan hidupku bahkan membuat kering lahan hatiku.”

“Aku akan jadi hujan untukmu.”

“Hujan juga mampu menyakiti ketika dia selalu membasahiku.”

“Setelah itu aku jadi matahari yang menerangimu.”

“Tidak, matahari bersinar cerah hanya siang hari. Malam menjelang, cahayanya akan dilemparkannya pada bulan. Aku tak kan sanggup jika semua itu terjadi padaku. Hatiku akan kehausan.”

“ Tenanglah, aku mampu jadi air yang melepas dahagamu!”

“Tidak, air itu mampu menenggelamkanku.”

“Lalu apa yang harus ku katakan agar kau percaya padaku?”

Pertanyaan yang bagus menurutku. Namun mengapa tak pernah kau ucapkan, “Aku akan jadi diriku sendiri dalam menyayangimu.” Mengapa harus beribu gombal kau panahkan ketika hati mulai meragu. Apa kau berusaha menutupi keadaan yang sesungguhnya?

 

***

 

Hari ini waktu menunjukkan suatu kebenaran tentangmu dan dia, kutemukan kebohonganmu. Ku periksa sosial mediamu ada pesan-pesan perhatian dan kasih sayang dari seorang wanita ku temukan. Seorang wanita yang selalu menanyakan kabarmu, sedang dimana dan lagi apa? Huh, meskipun kau terlihat cuek padanya tapi hatiku bergetar wanita ini tentunya ada hubungan sesuatu denganmu. Siapakah wanita itu? Tak ku dapat penjelasan berarti. Hatiku bak daun kering yang siap diombang-ambing angin kesana-kemari. Mana angin penyejuk itu, mana air penghapus dahagaku, mana cahaya mentari yang menyinari hatiku? Kejujuranmu sirna ketika kau membantu daun hijau itu berfotosintesis, angin sejuk itu palsu, air pelepas dahaga itu lenyap saat kemarau melanda hatiku. Kau pembohong.

“Lupakanlah aku! Pegang teguh komitmen yang kau ambil itu. Aku tak kuasa melihat wanita itu tersakiti. Aku wanita, dia juga wanita. Biarkan air mataku mengalir sampai dia benar-benar mengering.”

“Dengarkan aku wahai Dindaku...”

Hmm, pelak ku mendengar penjelasan-penjelasanmu. Tak ada lagi suaraku yang kau dengar, tak kan ada lagi wajahku yang bisa kau tatap. Aku akan jauh, jauh darimu. Aku akan berusaha mengobati luka yang menganga terlalu dalam. Aku tak ingin melihatmu lagi. Aku tak ingin berjumpa denganmu lagi untuk selamanya.

“Pergi lah kau, pergi dari hidupku. Buang lah semua rasa bersalahmu. Pergilah kau pergi dari hidupku.....” lantunan suara emas Sherina membuat luka ku semakin perih. Hatiku benar-benar menginginkan kau pergi jauh atau aku saja yang pergi jauh selamanya.

***

“Buk, tolong... tolong jangan matikan telponnya! Aku ingin mendengar suaramu. Terima kasih aku telah diberi kesempatan untuk berbicara denganmu lagi. Aku minta maaf atas apa yang aku lakukan. Tolong jangan menjauh dariku! Aku tak sanggup. Berbicara denganmu membuat hatiku damai, hidupku tenang, bahagia dan ibadahku semakin meningkat. Jauh darimu membuat pikiranku gak karuan, hidupku berantakkan, kuliah ku awut-awutan,” Aku hanya mematung dan mendengarkannya bercerita tentang hati dan perasaannya.

Tanpa terasa cairan bening ini membanjiri pipi, sungguh tak kuat mendengarnya. Sebenarnya apa yang kau rasa, ku rasakan juga. Namun tak sepatah katapun aku ucapkan, isakkan tangis tertahan ku tutupi dengan selimut yang tebal agar tidak menggema. Aku ingin mengatakan aku juga ingin kembali seperti dulu dan menggapai harapan-harapan kita yang telah terukir. Tapi ku tak sanggup dan tak ingin wanita itu juga merasakan sakit yang ku rasa jika kau memilih aku. Percakapan terakhir dengannya dikala takbir menyambut idul fitri menggema dimana-mana.

Tiga hari sudah pikiranku slalu tertuju padamu. Setiap sudut mata, yang ku lihat hanya sosokmu. Hmm terkadang aku malu, di hati dan pikiran ini hanya tertuju padamu yang seharusnya ku persembahkan buat Rabb-ku. “Apa gerangan yang terjadi?” hatiku slalu saja bertanya-tanya. Ku tatap telpon genggamku, ku ambil kemudian ku letakkan kembali. Berkali-kali hal yang sama ku lakukan. Sungguh benar-benar galau telah melanda pikiranku tentangmu. Seharian ku hanya berkutat dengan telpon genggamku yang mungil. Sampai akhirnya mata ku terpejam.

“Astaghfirullah sudah sangat sore. Ya Allah aku mimpi dia tersenyum padaku. Dia mendekat dan bercanda seperti biasanya. Apa yang terjadi dengannya ya Allah?” dengan tangan yang gemetar, ku beranikan menelpon. Jantungku berdegup kencang, berpacu dengan pikiranku yang galau. Aku takut sekali jika ia mengangkat telponku kemudian marah-marah karena sebelumnya aku tak pernah mau mendengarkan alasannya pacaran dengan wanita itu. Sementara hari ini aku yang kembali menelponnya yang sebelumnya menutup telinga akan deringan telepon darinya. Oh Tuhan kuatkan aku!

“Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif,” jawaban yang membuatku lesu. Ku beranikan diri buka facebook mencari akunmu berharap mendapatkan jawaban tentangmu. Tangan ini semakin gemetar, suhu tubuhku panas dingin. Jiwaku tergoncang. Aku pun tersenyum pahit.

“Sandiwara apalagi ini? Ini tidak mungkin terjadi denganmu kan? Kamu baik-baik saja kan? Ya Allah aku harus bertanya pada siapa tentang pembenaran ini?”

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un...” tulisan-tulisan yang menghiasi dinding facebook-nya. Aku tak sanggup berdiri lagi, tersungkur bersujud pada-Nya memohon ampun dan memberikanku kesempatan untuk bertemu walau terakhir kalinya. Tangisan ini menyesakkan dada, penglihatan mulai kabur, badan pun melayang-layang. Semakin hati menolak kepergiannya semakin deras cairan bening  ini melesat. “Melihatmu bahagia meski dengan wanita lain lebih baik bagiku dari pada kehilanganmu untuk selamanya.”

Kini ku tau sudah jawaban pasti tentang dirimu yang jauh di sana. Ku tatap gundukan tanah di hadapanku, puing-puing tanah yang memerah diselimuti mawar-mawar segar yang indah tersusun rapi. Keindahan mawar ini tak dapat dinikmati, hanya kesedihan-kesedihan dan wajah menghiba terpancar dari wajah  setiap orang yang hadir disana.

Masih pantaskah kesetiaan ini untukmu setelah kau pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya? Ku ikhlaskan kepergianmu walau sepi kan menghantui. Tuhan telah memanggilmu kembali pada-Nya pada kecelakaan naas itu. Kecelakaan diperempatan jalan di lereng bukit perbatasan kota telah merenggut nyawamu. Kendaraan yang kau gunakan disenggol truk sehingga kau berguling di aspal lereng bukit tersebut, begitu berita yang ku dengar. Suasana suram, kelam dihiasi hujan yang tak berkesudahan. Ya waktu itu maghrib telah menjelang.

Sampai saat ini doaku masih untukmu. Sampai saat ini doaku masih untukmu. Jika seseorang telah mampu menembus jantung dan hatiku, pada saat itu juga ku abdikan memoriku untuknya dan doaku untukmu kandas sampai disitu saja. “Semoga Allah mengampuni dosamu dan dosaku. Semoga Kau bahagia disana dan aku bahagia disini.”

Benar-benar aku hanya bisa menatap gundukan di hadapanku. Sebuah pusara suami seorang wanita yang kini melambai-lambaikan mawar merah digundukan itu. Ku tatapi dia yang menangis ringkik. Bebannya menusuk jantungku, aku mengerti dengan apa yang dirasakannya karna aku juga pernah merasakan hal yang sama.

Sampai saat ini belum ku temui gundukanmu. Hanya bisa menatap dari kejauhan seperti halnya menatap mentari senja ke peraduannya. Antara harapan yang indah dan kesedihan kelabu karena cahaya itu telah redup. Tak mampu menggapai gundukan itu dan menyentuhnya lembut meskipun hanya dengan air mata. Besar keinginan bertamu ke persemayamanmu, tapi itu hanya mimpi dalam tidurku. Tak kan pernah jadi nyata karena gundukanmu jauh disana.

Komentar

  1. Luar biasa...rangkaian kata demi kata yg begitu apik dan indah dehingga membuat pembaca penasaran akan akhir dari tulisan ini...salut...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jazakallah khoiron Pak sudah baca tulisan Resi.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istilah-istilah pada Microsoft office dan pengetikan cepat MS office

BATANG TUMBUHAN

BENTUK HIDUP TUMBUHAN