Dia Pulang

 

  

Dia Pulang

Hari ini pikiranku masih terombang-ambing antara mudik dan tidak mudik. Pasalnya harapan naik pesawat pulang ke Padang pupus sudah. Di awal ragu-ragu mau mesen tiket apa tidak, yang akhirnya tiketpun habis.

Lamunan mulai menggodaku mengingat masa lalu. Ah Kota Padang terasa begitu dekat. Jauh-jauh hari kita sudah mempersiapkan dan merencanakan pulang lebaran ke Padang. Biasanya hanya menungguku libur sekolah. Tepat pada hari terakhir sekolah, malamnya kita langsung berangkat. Tidak pernah galau seperti ini untuk melangkah antara mudik dan tak mudik.

Seiring mata dan pikiran yang lelah, akupun tertidur dengan sendirinya. Tidur yang nyaman dan nikmat.

“Masya Allah... rumah jadi bersih begini. Galeri pun rapi dan bersih. Siapa lagi kalau bukan suamiku yang merapikannya,” bathinku.

Betapa bahagia hati ini mengetahui ia pulang. “Alhamdulillah... Akhirnya suamiku pulang. Sebegitu khusyuknya ia beribadah (I’tikaf) sampai lupa pulang, lupa istri, lupa menemuiku, lupa memelukku, lupa menciumku. Ah aku begitu rindu,” bisikku yang menganggapnya sedang i'tikaf di masjid berhari-hari.

“Dek, ini parcel-parcel siapa yang menyiapkannya? Buat siapa? Banyak banget ini? Apa untuk resseler kita? Masa Abang menyiapkan semuanya sendiri? Apa buat dibagi-bagikan? Masya Allah suamiku tidak pernah berubah walaupun sudah lama kita tidak bertemu,” ocehku pada adik.

Aku kegirangan berharap bertemu dengannya. Ku susuri jalan menuju kamar. Aku berharap bersegera memeluknya, menciumnya, dan menyatakan aku sangat merindukannya. Adik ku mengingatkanku.

“Uni mau kemana? Uni, apa Uni lupa Abang sudah tidak ada? Abang sudah pergi jauh Ni. Abang nggak akan kembali. Istighfar Ni!”

Seketika bathinku hancur, seketika jiwaku melemah, dan seketika itu aku menangis sejadi-jadinya. Kenapa aku ditinggal? kenapa begitu cepat semua berlalu?

Didalam mimpi aku menangis. Sampai aku terbangun, tangisan mimpipun berlanjut ke dunia nyata. Tangis yang tidak bisa aku tahan, tangis yang selama ini sudah berusaha ku pendam, tangis yang selama ini berusaha ku hentikan. Ya Tuhan rindu pun menggebu-gebu yang ku rasakan.

Hatiku mulai tak karuan. Aku ingin mengunjungi gundukannya. Sudah dua bulan aku tidak mengunjunginya. Setiap aku memohon kepada adikku, ia selalu melarangnya.

“Tidak boleh sering-sering mengunjungi makam! Bagaimana bisa move on jika terus kesana dan mengenangnya. Sadarlah beliau sudah tidak ada dan tidak akan pernah kembali!” katanya.

Hari ini adikku pulang dari toko, mungkin karena lelahnya bekerja menjahit untaian-untaian kain gorden, usaha peninggalan suami. Akupun mulai berpikir aku akan berangkat sendiri mengunjungi tempat peristirahatan terakhir suamiku. Meminta izin dan mengajaknyapun tidak pernah digubris.

Ku langkahkan kaki, ku kenakan gamis kesayanganku. Tidak lupa maskerpun kupasang di wajah. Aku mulai bersiap-siap mengendarai motor. Ini kali pertama aku pergi ke makam sendirian. Tiada ada rasa takut, yang ada hanya rindu yang tak terbalaskan.

Ku pandangi semua gundukan di hadapanku. Mata yang bengkak karena tangisan, menghalangi penglihatanku. Tiba-tiba saja amnesia menyerangku. “Mana makam suamiku?” Ku Susuri satu persatu gundukan di hadapanku. Air mata masih saja mengalir dari pelupuk mata.

"Assalamu'alaikum Sayangku," ucapku ketika mendapati makam suami.

“Sayang sudah begitu lama engkau terbaring disana. Tetapi hatiku masih saja sama berharap engkau kembali datang menemuiku, memelukku, menciumku, juga tersenyum padaku. Bukankah engkau tahu aku tidak bisa tanpamu. Bahkan ketika kau tak berada di sampingku, mataku tak bisa terpejam masuk ke dunia tidurku.”

Air mata melesat deras dari mataku. Untaian-untaian doa kuucapkan kepada Allah untuknya. Untuknya yang selalu aku rindukan, rindu yang tak terbalaskan.

“Hai Sayang aku tak pernah tahu ternyata tanpamu begitu berat. Pantas saja engkau selalu mengulang-ulang kata yang selalu terngiang-ngiang di telingaku, 'Yang kuat ya Beb! Yang sabar ya Beb!'

Sayang, aku akan terus belajar menjadi kuat dan sabar seperti maumu. Ah waktu begitu singkat ya Sayang. Padahal beberapa bulan sebelum kamu sakit, kita pernah membahas siapa yang lebih dulu pergi. Dan aku selalu mengucapkan biarkan aku yang pergi terlebih dahulu karena aku wanita yang susah move on dan sulit jatuh cinta. Aku takut ditinggalkan dan aku takut sendiri.

Lalu engkau mengelus kepalaku, “Aku yang akan pulang terlebih dulu Beb, karena usiaku jauh lebih tua darimu. Kalau sesuai perhitungan ummat Rasulullah, usiaku tinggal hitungan 15 tahun bahkan bisa lebih cepat dari itu.”

Akupun mulai menangis mendengar ucapanmu. Engkau berusaha menenangkan aku. “Beb, jika aku pulang terlebih dahulu, jangan pernah takut untuk menikah lagi. Dan aku selalu berdoa kepada Allah agar kelak Bebeb diberikan jodoh yang lebih baik dari aku, kelak yang mendampingimu adalah seorang ustadz yang paham agama, yang banyak ilmu. Bukan seperti aku yang kurang ilmu dan baru banyak belajar darimu.”

“Sayang, bagiku kamulah yang banyak mengajariku. Bagaimana bersabar, memiliki keyakinan yang kuat terhadap takdir Allah serta ilmu yang selalu engkau bagikan setiap pulang kajian.”

“Beb, menikah denganmu memberikan banyak waktu untukku mencari ilmu. Sehingga aku bisa ikut kajian hampir setiap hari. Makasih ya Beb!”

Aku selalu bertanya dan sering bertanya, “Sayang, apa kamu merasa bangga dan beruntung memiliki aku?”

“Bagaimana aku tidak beruntung, aku laki-laki pertama yang mampu memilikimu. Aku diajari banyak ilmu, marketing, bisnis online, terutama Al-Qur'an. Jangan pernah bosen dan lelah ya Beb mengajari dan mengingatkan aku ketika aku salah!”

Hei, aku hanya ingin bilang, “Suamiku, laki-laki penyabar yang pernah ku temui. Ia sabar menghadapi marahku, manjaku, dan akhirnya jadilah aku yang sekarang.”

Terima kasih telah mendampingi dan menemani perjalananku selama enam tahun ini, Sayang. Sampai saat ini aku masih mencintaimu, merindukanmu, juga menyayangimu.

Langit sudah kemerah-merahan, sebentar lagi adzan maghrib akan berkumandang. Semua orang di area pemakaman sudah pulang dari setengah jam yang lalu. Sayup-sayup suara angin berhembus merdu. Aku masih saja bertahan disini menikmati rasa sedih yang mengalahkan ketakutan diri.

Dari tadi seekor anjing ini selalu berlarian mengitariku dan beberapa pemakaman di sekitar sini. Sesekali aku terkejut dan takut karena dia terlalu dekat denganku. Takut seketika gigi taringnya akan menikamku. Tapi ia hanya berlari mendekat, kemudian berlari lagi ke arah yang lain. Ya sudahlah memang sepertinya aku harus mengalah dan beranjak pergi dari sini.

Mega merah sudah mulai berangsur-angsur ke peraduannya. Dan anehnya anjing itupun pulang dan berhenti mengitari makam-makam itu ketika aku beranjak pergi. Mungkin ia seperti itu menyuruhku untuk pergi.

 

Sidoarjo, 25 April 2022

Sambil menangis mengetik tulisan ini.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istilah-istilah pada Microsoft office dan pengetikan cepat MS office

BATANG TUMBUHAN

BENTUK HIDUP TUMBUHAN